Selasa, 03 April 2012

Bab 8. RUU ITE

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi ramai dibicarakan, ketika bergolaknya kasus warga sipil yaitu Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Kemudian merambah pada kasus penghinaan wartawan infotainment oleh artis Luna Maya . Kasus penuduhan penyemaran nama baik dan penghinaan itu menyita banyak perhatian publik. Alih-alih, kini kasus tersebut berujung pada perseturuan di meja hijau.

Hingga kini, kontroversi masih kerap terjadi. Alasan utamanya adalah terkekangnya hak untuk berpendapat, sehingga masyarakat seakan tidak memiliki ruang lagi untuk saling berkeluh kesah. Akhirnya, hal itu memicu lahirnya opini, barang siapa yang berani menulis pedas, maka harus siap dihadapkan pada pasal-pasal UU ITE itu.

Menjadi Cyber Law
Proses panjang telah dimulai sejak Maret 2003 lalu. Diawali Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), yang perancangannya ditangani oleh lembaga tinggi negara yaitu Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Departeman Perhubungan, dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang menjalin kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Melalui surat No. R/70/Pres/9/2005 tanggal 5/9/2005, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE secara resmi di hadapan DPR RI. Presiden mengamanahi Menkominfo, Menteri Hukum, dan lembaga Hak Asasi Manusia untuk membahasnya bersama. Setelah melewati proses panjang, tepatnya pada rapat Paripurna DPR RI tanggal 25/3/2008, naskah  RUU  ITE ditandatangani oleh Presiden RI menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang termuat dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843.
Dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 6, Nomor 1/4/2008 dikatakan manfaat UU ITE menjadi Cyber Law di Indonesia yang diharapkan menjadi pelindung untuk masyarakat sebagai pengguna jasa yang berkaitan dengan sistem layanan elektronik. Kemudian, dalam transaksi pelayanan jasa, UU ITE menjadi dasar hukum penggunaan dan pengakuan  dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam transaksi elektronik sehingga akan menepis keraguan masyarakat dalam mengunakan jasa secara elektronik tersebut.
Masih menurut sumber buletin tadi, UU ITE memberikan perlindungan hukum terhadap lembaga perbankan atau keuangan, penerbit kartu kredit atau kartu pembayaran, dan lembaga keuangan lainnya dari kemungkinan gangguan dan ancaman kejahatan elektronik. Kejahatan tersebut bisa dilakukan dengan mengkriminalisasi setiap penggunaan dan akses yang dilakukan secara ilegal, antara lain berupa illegal access, illegal interception, data interference, system interference, computer related forgery, computer  related fraud, dan misuses of device .
Ditemui di Kantor DPRD, Sekretaris Komisi A DPRD Kota Malang, Nuruddin Huda membenarkan sosialisasi UU ITE memang masih minim. Namun, tidak hanya pada UU tersebut, melainkan banyak peraturan lain yang juga masih membutuhkan sosialisasi lebih lanjut. “Memang, selama ini kurang. Tapi tidak hanya UU ITE, tapi Perda-perda lain juga,” ungkap pria yang selalu memakai kopyah tinggi sebagai ciri khasnya itu.
Sebagai aksinya, pemerintah daerah telah membuat program sosialisasi pada masyarakat dan kalangan akademisi, khususnya mahasiswa. “Programnya bernama ‘Komisi A Sobo Kampung Mbangun Kutha‘ dan ‘Komisi A Sobo Kampus Mbangun Kutha’,” terang pria yang kerap mengisi pengajian tersebut.
Nuruddin mengungkapkan, hingga Desember 2009 lalu, program tersebut telah dilaksanakan 6 kali dan berhasil. Selain mensosialisasikan UU, Perda, atau program pemerintah, masyarakat bisa secara langsung berdiskusi dan menyampaikan aspirasi pada pemerintah. “Semua masukan masyarakat akan menjadi evaluasi untuk dijadikan pertimbangan apakah program perlu direvisi atau ditindaklanjuti,” ungkapnya.
Ketika ditanyakan tentang batasan UU ITE yang kurang jelas, Nuruddin mengungkapkan sebenarnya sudah cukup jelas dimuat dalam pasal-pasalnya. Namun, kritik atas hal tersebut tetap akan diperhatikan. Ia juga menambahkan, pemerintah membuka pintu lebar-lebar jika masyarakat membutuhkan konsultasi atau penjelasan mengenai UU ITE itu.
Mengenai kemunculan UU ITE, pria pengusaha itu mengungkapkan UU ITE memang diperlukan masyarakat era saat ini. “Apalagi saat ini Era Globalisasi, semua menggunakan teknologi. Kemunculan Undang-undang memang sudah waktunya diperlukan atau sebagai antisipasi masalah ke depan,” terangnya.
Bapak tujuh anak itu berharap, UU ITE tidak ditumpangi kepentingan pihak-pihak tertentu. Kalau pun ada pro kontra antara masyarakat dan pihak-pihak lain, maka pihaknya (pemerintah) akan menjadi fasilitator, dan mediator sosial. “Pro kontra itu sudah biasa, termasuk menyadarkan masyarakat yang berasumsi adanya UU hanya untuk dilanggar. Kami akan terus mengevaluasi, memfasilitatori, dan memediasi secara netral antara pihak pro dan kontra,” pungkasnya.

Keberadaan UU Tetap Penting
Sementara itu Kepala Humas dan Protokoler UMM yang pernah aktif sebagai peneliti di Lembaga Pelitian dan Pengembangan Komunikasi Massa (LPPKM) Jakarta, Nasrullah mengungkapkan keberadaan UU ITE memang diperlukan. Pasalnya, sebagaian besar transaksi keuangan, valas, dan berbagai bentuk perdagangan sudah tidak lagi berupa transaksi nyata yaitu uang dan barang berada dalam satu tempat.
“Yang diperlukan pada transaksi saat ini adalah data dan informasi yang bisa dipertukarkan. Untuk itu perlu perlindungan hukum agar transaksi itu diakui dan dilindungi,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut.
Sebagai orang yang berkecimpung dalam kehumasan, Nasrullah mengungkapkan manfaat UU ITE dalam bidang Online Public Relation (PR). “Tidak hanya untuk saya pribadi sebagai orang humas, tetapi UU ini juga memberikan manfaat untuk semua. Humas juga sekarang sudah merambah ke Online PR, jadi sangat penting memanfaatkan media internet,” ujarnya.
Dia juga mencontohkan perlunya UU ITE bagi pengguna informasi dan data elektronik. Misalnya, investor asing akan meninggalkan Indonesia jika transaksinya tidak dilindungi UU. “Masak misalnya sudah transfer duit nggak diakui gara-gara tandatangannya elektronik dan tidak berupa uang cash,” paparnya.
Masalah kontroversi, dosen yang menamatkan S2 di UI itu, menjelaskan  bila UU ITE menyentuh aspek informasi publik dalam pengertian kepentingan bersama yang dibuka di depan publik. Sebab ada UU lain yang mengatur, yakni UU Pers, UU Penyiaran, dan UU Informasi Publik yang segera beredar.
Meskipun optimis UU ITE akan melindungi masalah transaksi dan informasi elektronik, pria yang akrab disapa Pak Nas ini mengungkapkan perlunya revisi. “Menkominfo harus mengambil inisiatif untuk itu. Perlu melihat juga potensi apakah UU Pers, UU Penyiaran, dan UU Informasi  bisa menjadi satu UU yang lengkap. Atau kalau tidak, setidaknya UU tersebut tidak saling tumpang tindih,” terangnya.
Seperti yang diungkapkan pengajar di salah satu SMK Malang, Khoirudin Bashori, adanya UU ITE bertujuan menciptakan ketertiban umum dan menuntut masyarakat kritis, bukan membatasi kebebasan berpendapat seperti yang biasa disebutkan orang, tetapi, menyantunkan kebebasan berpendapat. “Tujuan adanya UU ITE baik, supaya ketertiban umum terjaga dan orang-orang tidak sembarangan mengeluarkan pendapat. UU ini menurut saya tidak membatasi kebebasan  berpendapat, akan tetapi menyantunkan pendapat,” ungkap guru yang juga seorang blogger tersebut.
Menurut laki-laki pemerhati hukum itu, UU ITE sebenarnya mempermudah dan melindungi masyarakat, bukan membatasi kreativitas masyarakat yang marak digemborkan saat ini. “Jadi, UU ITE bukan mengekang,” ungkapnya berseloroh.
Lebih jauh, pria itu menjelaskan UU ITE adalah undang-undang yang sejak awal dibuat untuk meningkatkan kepercayaan publik atas transaksi berbasis digital (elektronik). “UU ITE merupakan undang-undang dengan roh positif untuk merangsang perkembangan pemanfaatan transaksi elektronik,” lanjutnya.

Perlu Sosialisasi
Lain lagi halnya dengan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) ini. Menurutnya, UU ITE itu tidak jelas juntrungnya kemana dan masyarakat bisa tertekan serta takut dengan adanya UU ITE itu. “Menurut hemat saya, UU ITE itu tidak jelas. Ada kerancuan pada pasal-pasalnya,” papar Asep Purnama Bahtiar.
Menurut pria asli Surabaya itu, yang menjadi perdebatan dan ditolak oleh sebagian masyarakat terdapat di Bab VII pasal 27 ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Pada  pasal 27 ayat 3 itu, lanjutnya, dinilai berpotensi  disalahgunakan atau disalah artikan untuk  sengaja dijadikan jeratan hukum terhadap kebebasan seseorang untuk menulis blog, email, status Facebook, Twitter, ataupun semua bentuk dokumen elektronik apapun bentuknya menjadi terbatasi. “Harus ada peninjaun kembali atas pasal itu,” argumennya serius.
“Misalkan saja anda berkomentar negatif di dinding akun Facebook saya, menurut pasal tadi, anda dapat saya tuntut  karena saya anggap melecehkan atau mencemarkan nama baik saya. Pasal itu yang perlu pembatasan dan perlu penjelasan ulang, supaya tidak terjadi kesalahpahaman,” paparnya menjelaskan
Ketika disinggung korban UU ITE baru-baru ini yaitu  Prita Mulyasari  yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional dan artis Luna Maya yang terkena tuduhan  penghinaan, Asep mengungkapkan, Prita dan Luna Maya merupakan korban ketidakjelasan UU ITE  itu. ”Padahal kalau kita cermati dengan sangat bijak, kedua orang itu tidak termasuk dalam orang yang melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU ITE,” ungkap ayah dari Radhita dan Dian Andriani itu beropini.
Kemudian, terkait akar permasalahan UU ITE, Asep mengatakan kurang jelasnya UU ITE itu karena kurangnya sosialisasi dari pemerintahan. “Permasalahan pokok UU ITE adalah keambiguan dari UU tersebut sehingga perlu penjelasan dan sosialisasi yang intens dari pemerintahan,” jawabnya diplomatis.
Menurutnya, DPR dan pemerintah selaku legislator harus segera mensosialisasikan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kepada publik dan pengguna UU. “Sosialisasi UU ITE ini menjadi penting agar tidak ditemukan lagi Prita Mulyasari  dan Luna Maya lainnya,” sarannya mengakhiri. sya/mg_rey/rif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar