Minggu, 30 Oktober 2011

Ivonne (3)

”Selamat datang Mr. Theofilus Lundenberg. Saya Ivonne Christabelle, personal assistant Anda selama berada di Jakarta,” ujarnya, dengan gaya profesional.

”Hai, Ivi...,” sapanya, masih tetap sambil tersenyum ramah.

Ivonne mengernyit. Tidak suka dengan nama panggilan yang didengarnya. Itu panggilan kesayangan Ivonne. Panggilan   khusus orang tuanya....

Ivonne menahan diri untuk tidak berkomentar. Bagaimanapun, Theofilus Lundenberg adalah bosnya. Setidaknya, selama dia berada di Jakarta. Dan, seorang bos sebaiknya tidak dibantah.

”Silakan, Mr Theofilus Lundenberg. Lewat sini...,” Ivonne memimpin jalan menuju tempat parkir.

”Panas sekali, ya, Jakarta,” kata Theo, sambil mengipas-ngipas. ”Sudah lama saya tidak ke Jakarta. Seingat saya, terakhir kali saya ke sini adalah dua tahun yang lalu. Mengunjungi nenek saya.” Theo tersenyum.

Ivonne hanya tersenyum tipis. Berusaha tetap terlihat profesional.

“Saya ingin check in di hotel sebentar. Hanya untuk menaruh barang bawaan saja. Kamu bawa bahan untuk meeting nanti, Ivi?”
Ivonne mengernyit lagi, panggilan itu! Perlahan –berusaha agar tidak terlalu kentara– dia menepuk punggung tangannya tiga kali, lalu mengeluarkan bahan meeting untuk siang nanti.

“Ini bahannya, Mr. Theofilus Lundenberg.”

“Just call me, Theo,”  ujarnya. Suasana sejenak hening. Theo tampak serius mempelajari bahan meeting.

Ivonne diam-diam menarik napas lega. Lega karena Theo tampak serius membaca dan untuk beberapa waktu tidak akan bercakap-cakap dengannya.

*****
Theo tersenyum kecil. Hanya butuh waktu sebentar untuk mempelajari bahan meeting siang nanti. Diam-diam dia memperhatikan gadis berpakaian gelap di sebelahnya. Wajahnya cantik, hanya tampak jarang tersenyum. Rambutnya digelung ketat. Bahasa tubuhnya tampak kaku dan konservatif. Selama dia mempelajari bahan meeting, gadis ini mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Tampak lega. Tadi, dia sempat menangkap gerakan kecil gadis itu ketika menepuk punggung tangannya tiga kali.

Pak Darmawan Sejati, CEO PT Kimia Utama, sudah mengatakan bahwa yang akan menjadi asisten pribadinya selama dia berada di Jakarta, adalah seorang gadis yang teliti, cekatan, dan profesional. Hmm... Pak Darmawan tidak mengatakan bahwa asisten pribadi ini juga cantik dan... pendiam.

Mobil meluncur pelan, membelah jalan Jakarta yang sudah mulai padat. Empat hari lamanya Theo akan berada di Jakarta. Mensosialisasikan produk kimia terbaru keluaran Chemical International Coorporation. Dia juga akan berkeliling, menemani sales engineering dari PT Kimia Utama, menyambangi customer dari PT Kimia Utama. Dia sangat bersemangat menerima tugas ke Jakarta. Kota kelahiran Oma Rima, neneknya. Kalau ada waktu, dia akan berkunjung ke rumah Oma Rima. Sudah lama sekali dia tidak bertatap muka dengan nenek tersayangnya itu.

Mobil berbelok, masuk ke sebuah hotel.

“Sudah sampai, Mr. Theofilus Lundenberg,” suara Ivonne membuyarkan lamunannya.

Theo tersenyum, merespons perkataan Ivonne. Dia memperhatikan gadis itu mengetukkan ujung kakinya cepat-cepat sebelum melangkah keluar. Tuk tuk tuk. Tiga kali.
Aneh...

Ivonne mengurus check in hotel dengan cekatan.

“Silakan, Mr. Theofilus Lundenberg.” Ivonne memberikan kartu pass untuk masuk ke kamar.

“Thanks, Ivi.”
Ivonne tampak mengernyit ketika mendengar Theo menyebutkan ‘Ivi’. Entah mengapa.
****

Oleh: Irene Tjiunata

Ivonne(2)

Ivonne teringat nada penuh cemooh yang dilontarkan Novelita saat mengetahui bahwa Ivonne yang ditunjuk menjadi personal assistant Theofilus Lundenberg.

“Kenapa si gadis aneh itu, sih, yang dipilih jadi asisten pribadi Mr. Theofilus Lundenberg?
Malu-maluin kantor kita saja! Mending juga Ita saja, deh, yang jadi asisten Mr. Theo. Pasti akan lebih memuaskan...!” seru Ita, disambung dengan cekikikan centilnya. Ita berkata-kata dengan volume suara yang tidak dipelankan. Kentara sekali kalau dia ingin Ivonne mendengar apa yang dia katakan.

Ivonne menghela napas. Dia tahu, dia dipandang sebagai gadis aneh. Gadis yang selalu melakukan segala sesuatu tiga kali. Gadis yang terlalu perfectionist –dengan kecenderungan yang mengerikan. Gadis yang selalu dingin dan kaku, terhadap wanita dan, terutama, terhadap lelaki.

Dia sebenarnya juga tidak mau menjadi gadis aneh. Dia ingin berhenti melakukan ’ritual tiga’-nya, dia ingin menjalin relasi yang hangat dengan orang lain, dia juga ingin lebih santai. Sama seperti orang normal lainnya. Tapi... dia takut.

Dia takut, kalau tidak melakukan ’ritual tiga’, maka sesuatu yang buruk akan terjadi. Dia takut, kalau tidak selalu memeriksa apa yang dilakukan, maka kesalahan kecil akan berakibat fatal.
Dia juga takut untuk ’dekat’ dengan orang lain. Dia takut ’kedekatan’ mereka akan membahayakan hidup si lelaki. Seperti kedekatan dengan kedua orang tuanya yang menyebabkan mereka meninggal. Dia bahkan takut hanya dengan membayangkan semua itu.

Ivonne berjalan mantap ke arah mejanya. Banyak yang harus dia persiapkan untuk menyambut kedatangan Mr. Theofilus Lundenberg. Dia duduk tiga kali, menepuk punggung tangannya tiga kali, kemudian mulai melakukan tugasnya.

”Ivonne, tolong jemput Mr. Lundenberg di bandara.” Pak Darmawan menghampiri meja kerjanya.
“Sebelumnya, tolong kamu persiapkan bahan untuk meeting intern siang ini. Oh ya, nanti perlihatkan juga bahan meeting-nya kepada Mr. Lundenberg, kalau-kalau masih ada yang perlu dia tambahkan.”

“Baik, Pak Darmawan Sejati,” jawab Ivonne, mengangguk. Dia memang membiasakan diri untuk memanggil orang lain dengan nama lengkapnya. Ini adalah salah satu usahanya untuk tidak mengakrabkan diri dengan orang lain. Dia mulai mengerjakan tugas yang diberikan Pak Darmawan dan setelah semuanya siap, dia menghubungi Pak Andi, sopir kantor, dan bergegas menuju bandara.

*****
Bandara selalu ramai. Tidak pernah sepi. Ivonne berjinjit agar dapat lebih jelas memperhatikan penumpang yang berhamburan keluar. Pak Andi berdiri di sebelahnya sambil mengangkat tinggi-tinggi papan bertuliskan ’PT Kimia Utama’. Ivonne menerka-nerka dalam hatinya. Seperti apa rupa Mr. Lundenberg.

Pak Darmawan bilang, Mr. Theofilus Lundenberg adalah seorang pekerja yang perfectionist. Dia selalu serius dengan pekerjaannya. Dia selalu melakukan segala sesuatu dengan cermat dan penuh perhitungan.

Ivonne merapikan setelan biru tuanya tiga kali dan memeriksa gelung rambutnya tiga kali. Dia harus terlihat profesional dan serius untuk menyambut tamu kehormatan PT Kimia Utama.
Seorang lelaki mendekati Ivonne. Dia mengenakan polo-shirt warna kuning.

”PT Kimia Utama?” tanyanya, sambil tersenyum ramah.

Ivonne mengangguk, tampak ragu. ”Mr. Theofilus Lundenberg?”

Lelaki itu mengangguk. Dia mengulurkan tangannya. ”Panggil saja saya Theo,” ujarnya, dengan bahasa Indonesia yang sempurna.

Ivonne tidak terkejut. Pak Darmawan sudah memberi tahu bahwa walaupun Theofilus Lundenberg lahir di Australia, nenek dari pihak ibunya adalah wanita Indonesia asli. Bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu yang sering digunakannya sehari-hari.

Ivonne(1)

Lima bulan yang lalu, merasa bahwa segala usahanya sia-sia, Alex mulai mendekati Sanny, anak marketing lain, yang lebih menarik, lebih hangat, lebih terbuka, dan lebih ’normal’.

Ivonne merapikan kertas-kertas di atas mejanya. Dia meletakkan tumpukan kertas itu di sebelah kiri meja. Diambilnya lagi tumpukan kertas itu, kemudian diletakkannya lagi di sebelah kiri mejanya. Dia berhenti sebentar, dan untuk ketiga kalinya, dia mengambil tumpukan kertas itu, kemudian meletakkan lagi di sebelah kiri mejanya.

Dia bangun dari kursinya, duduk lagi, bangun, duduk lagi, dan bangun untuk ketiga kalinya. Dia mengambil tasnya, menepuk punggung tangannya tiga kali, lalu keluar dari ruangan.

Kantor sudah sepi. Hanya tinggal dia sendiri yang belum pulang. Dia baru selesai membereskan meja kerjanya, sebuah pekerjaan yang melelahkan baginya. Dia harus memastikan, semua sudah benar-benar diletakkan pada tempatnya, harus membuang kertas-kertas yang tidak diperlukan, dan harus membersihkan meja kerjanya. Semua itu harus diulangi sebanyak tiga kali.
Ivonne menghela napas. Tubuhnya penat. Jam kantor seharusnya berakhir pukul lima sore. Tapi, karena dia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan plus membereskan meja kerjanya, dia baru bisa meninggalkan kantor pada pukul delapan.

”Selamat malam, Bu Ivonne,” sapa penjaga kantor, mengangguk dengan sopan.
Ivonne balas mengangguk, lalu berjalan menghampiri mobilnya. Dia menepuk punggung tangannya tiga kali, membuka kunci mobil tiga kali, lalu masuk. Dia menstarter mobilnya tiga kali, kemudian meluncur pelan membelah malam Jakarta.

Sampai di rumah, ’ritual tiga’, sebutannya untuk kebiasaan melakukan segala sesuatu sebanyak tiga kali, masih berlanjut. Dia harus mandi tiga kali, keramas tiga kali, mengeringkan tubuhnya tiga kali, berpakaian tiga kali, mengunyah makan malamnya tiga puluh tiga kali, mencuci piring tiga kali, naik ke ranjang  tiga kali, dan menyelimuti dirinya tiga kali. Dia sudah lelah sekali, tapi dia masih harus membaca tiga buku sebelum tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas....

*****
Mimpi itu datang lagi!
Ivonne terbangun. Napasnya tersengal. Peluh membasahi sekujur  tubuhnya. Dia menggapai jam weker di sebelahnya. Waktu baru menunjukkan pukul lima. Ivonne memejamkan mata. Berusaha mengusir bayangan silau lampu motor dan suara decitan ban dalam mimpinya. Mimpi yang sama.

Mimpi buruk yang telah dialaminya selama sepuluh tahun, sejak kematian kedua orang tuanya....
Ivonne menggeleng keras. Dia bangun dan mengenakan sandal kamarnya, semua itu diulangi sebanyak tiga kali. Walaupun masih mengantuk, dia harus bangun pagi-pagi sekali. Dia harus mempersiapkan diri sebelum berangkat ke kantor. Menyalakan kompor untuk membuat sarapan, makan, mencuci piring bekas sarapan, menyapu lantai rumah, gosok gigi, mandi, berpakaian, menggelung ketat rambutnya, dan berdandan. Semua itu harus dilakukannya sebanyak tiga kali.
Ivonne menarik napas lega ketika dia selesai memulas lipstiknya untuk ketiga kalinya. Terkadang dia merasa lelah dengan ‘ritual tiga’-nya. Terlalu menyita waktu dan energinya. Akan tetapi, dia tidak berani melanggar. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Sesuatu yang buruk seperti kematian orang tuanya, yang menyebabkan dia kini sendirian, bukan bertiga lagi seperti dulu.

Mata Ivonne mengerjap, mengusir air mata yang hampir mengalir turun. Dia menepuk punggung tangannya tiga kali, lalu membuka pintu rumah.

Saat dia sudah berada di dalam mobilnya, waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Dia harus bergegas! Kemarin, Pak Darmawan Sejati, bosnya sekaligus pamannya dari pihak ibu, mengumumkan bahwa akan datang seorang technical engineering bernama Theofilus Lundenberg dari Chemical International Cooperation, kantor pusat di Australia. Rencananya, Theofilus Lundenberg akan memperkenalkan produk kimia hasil penelitian terbaru. Pak Darmawan Sejati juga menugaskan Ivonne agar menjadi asisten pribadi Theofilus Lundenberg selama dia di Jakarta.
By : Femina

Mempertanyakan (Makna) Sumpah Pemuda

Baru saja bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-83 (28 Oktober 2011). Dimana-mana dikumandangkan tiga butir “Sumpah Pemuda” tersebut. Namun makna dari ketiga butir itu saat ini, semakin dipertanyakan penanamannya dalam jiwa para pemuda.
Kenapa harus dipertanyakan…??? Mungkin kita harus menengok lebih jauh lagi ke belakang sebelum memandang jauh ke depan. Kalau tidak mau dikatakan bahwa pemuda Indonesia sekarang ini, pemahaman dan aplikasi dari Sumpah Pemuda itu sudah tidak sakral lagi dibandingkan pada awal dikonsepnya butir-butir Sumpah Pemuda oleh para pemuda.
Saya juga sebagai sosok generasi muda, tidak melihat lagi jiwa pemuda yang sebenarnya seperti yang diinginkan pada setiap butir dari Sumpah Pemuda itu. Selain jiwa nasionalisme yang terus menerus mengalami ketidapastian, juga rasa berbangsa dan bertanah air satu semakin tidak nampak.
Ada yang beralasan, bahwa semua harapan para pejuang kira kepada kita semua akibat dotrin masa lalu yang telah menanamkan jiwa kapitalisme dalam diri pemuda. Sehingga semua tindakan dan gerakan yang akan dilakukannya terlebih dahulu memikirkan untung rugi bagi dirinya.
Dan sudah pasti, uang adalah segala-segalanya. Padahal, para pejuang kita dahulu mungkin tidak pernah berpikir atau memikirkan untung ruginya berjuang melawan penjajah meskipun harus mengorbankan jiwa raga dan harta bendanya.
Tapi kenapa generasi sekarang yang selalu mengklaim diri sebagai pejuang dan pahlawan. Walaupun, tindakannya itu belum tentu diperuntukkan bagi khalayak rakyat Indonesia atau masyarakat dilingkungannya yang berskala kecil.
Harapan kita semua, semoga peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2011 ini bisa mengembalikan semangat persatuan dan kesatuan.

Sumber: Kompas

Sumpah Pemuda

Setiap tahun, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda, dan pada tahun ini kita memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-83. Hari ini kita kembali merefleksikan tentang tekad para pemuda untuk mewujudkan satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa. Jangan sampai kita memperingati Peringatan Hari Sumpah Pemuda ini hanya rutinitas, sehingga kehilangan makna. Kita harus memaknai kembali sesuai dengan semangat sekarang tanpa kehilangan nilai-nilai dari Sumpah Pemuda itu sendiri. Itulah sebabnya, kita harus melakukan refleksi ke belakang, sekaligus kita harus mengantisipasi ke depan sejarah perjalanan bangsa dalam menghadapi tantangan baru dengan semangat nilai-nilai Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, UUD 1945, dan dan Bhineka Tunggal Ika.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-83 tahun ini mengangkat tema “BANGUN PEMUDA INDONESIA YANG BERJIWA WIRAUSAHA, BERDAYA SAING, DAN PEDULI SESAMA”. Tema tersebut mengandung pesan bahwa langkah menuju Indonesia yang berdaya saing dan bermartabat sangat bergantung pada karakter pemuda yang kokoh serta mengedepankan akhlak mulia di atas semangat persatuan dan kesatuan Indonesia. Karakter yang kokoh ini bercirikan semangat patriotik, jiwa nasionalis, jati diri yang mengakar, berwawasan luas, kecerdasan yang mencerahkan, kepedulian yang merekatkan, serta keteguhan untuk bersatu yang semuanya dinaungi oleh nilai-nilai Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kamis, 13 Oktober 2011

LP Prolog


Laporan Pendahuluan

1.     Jelaskan apa yng dimaksud dengan prolog?
Jawab :
Prolog adalah bahasa pemrograman logika atau di sebut juga sebagai bahasa non-procedural. Namanya diambil dari bahasa Perancis programmation en logique (pemrograman logika). Bahasa ini diciptakan oleh Alain Colmerauer dan Robert Kowalski sekitar tahun 1972 dalam upaya untuk menciptakan suatu bahasa pemrograman yang memungkinkan pernyataan logika alih-alih rangkaian perintah untuk dijalankan komputer. Berbeda dengan bahasa pemrograman yang lain, yang menggunakan algoritma konvensionl sebagai teknik pencariannya seperti pada Delphi, Pascal, BASIC, COBOL dan bahasa pemrograman yang sejenisnya, maka prolog menggunakan teknik pencarian yang di sebut heuristik (heutistic) dengan menggunakan pohon logika.
2.     Jelaskan dan sebutkan struktur pemograman prolog?
Jawab :
1.     DOMAINS
berisi deklarasi (pernyataan) tentang jenis data yang digunakan dalam fakta dan aturan. Mirip dengan bahasa Pascal atau C.
2.     PREDICATES
PREDICATES adalah nama simbolik untuk relasi.
3.     GOAL
GOAL berisi pertanyaan yang anda ajukan kepada turbo prolog.Bagian GOAL ini hanya dituliskan menggunakan kata tunggal, karena hanya boleh ada sebuah GOAL. GOAL dapat terdiri dari beberapa SUBGOAL. Perlu diingat suatu pernyataan baik fakta, relasi atau GOAL dikatakan satu apabila diakhiri dengan tanda titik.
4.     CLAUSES (KLAUSA)
CLAUSES (KLAUSA) berisi fakta dan aturan yang membentuk keseluruhan program
3.     Buatlah program sederhana menggunakan bahasa prolog ?
Jawab :
Prolog Perulangan Segitiga Bintang

loopa(A,B):-
(A>0,
loopb(B),nl,
C is A-1,
D is B+1,
loopa(C,D);
A=0,nl).

loopb(D):-
( D>0,write('*'),
B is D-1,
loopb(B);
D=0,write('')).
menu :-
write('-------MENU-------'),nl,
write('1. Biodata'),nl,
write('2. Segitiga'),nl,
write('3. Keluar'),nl,
write('Masukkan pilihan : '), read(PIL), nl,

(PIL=1,nl,
write('------BIODATA------'),nl,
write('Nama saya : '),read(A),nl,
write('NPM saya : '),read(B),nl,
write('-------------------'),nl,
write('Nama saya : '),write(A),nl,
write('NPM saya : '),write(B),nl,

menu;
PIL=2,nl,
write('Nilai perulangan : '),read(A),loopa(A,1),

menu;
PIL=3,nl,
write('Makasih'),nl).