Minggu, 30 Oktober 2011

Ivonne(1)

Lima bulan yang lalu, merasa bahwa segala usahanya sia-sia, Alex mulai mendekati Sanny, anak marketing lain, yang lebih menarik, lebih hangat, lebih terbuka, dan lebih ’normal’.

Ivonne merapikan kertas-kertas di atas mejanya. Dia meletakkan tumpukan kertas itu di sebelah kiri meja. Diambilnya lagi tumpukan kertas itu, kemudian diletakkannya lagi di sebelah kiri mejanya. Dia berhenti sebentar, dan untuk ketiga kalinya, dia mengambil tumpukan kertas itu, kemudian meletakkan lagi di sebelah kiri mejanya.

Dia bangun dari kursinya, duduk lagi, bangun, duduk lagi, dan bangun untuk ketiga kalinya. Dia mengambil tasnya, menepuk punggung tangannya tiga kali, lalu keluar dari ruangan.

Kantor sudah sepi. Hanya tinggal dia sendiri yang belum pulang. Dia baru selesai membereskan meja kerjanya, sebuah pekerjaan yang melelahkan baginya. Dia harus memastikan, semua sudah benar-benar diletakkan pada tempatnya, harus membuang kertas-kertas yang tidak diperlukan, dan harus membersihkan meja kerjanya. Semua itu harus diulangi sebanyak tiga kali.
Ivonne menghela napas. Tubuhnya penat. Jam kantor seharusnya berakhir pukul lima sore. Tapi, karena dia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan plus membereskan meja kerjanya, dia baru bisa meninggalkan kantor pada pukul delapan.

”Selamat malam, Bu Ivonne,” sapa penjaga kantor, mengangguk dengan sopan.
Ivonne balas mengangguk, lalu berjalan menghampiri mobilnya. Dia menepuk punggung tangannya tiga kali, membuka kunci mobil tiga kali, lalu masuk. Dia menstarter mobilnya tiga kali, kemudian meluncur pelan membelah malam Jakarta.

Sampai di rumah, ’ritual tiga’, sebutannya untuk kebiasaan melakukan segala sesuatu sebanyak tiga kali, masih berlanjut. Dia harus mandi tiga kali, keramas tiga kali, mengeringkan tubuhnya tiga kali, berpakaian tiga kali, mengunyah makan malamnya tiga puluh tiga kali, mencuci piring tiga kali, naik ke ranjang  tiga kali, dan menyelimuti dirinya tiga kali. Dia sudah lelah sekali, tapi dia masih harus membaca tiga buku sebelum tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas....

*****
Mimpi itu datang lagi!
Ivonne terbangun. Napasnya tersengal. Peluh membasahi sekujur  tubuhnya. Dia menggapai jam weker di sebelahnya. Waktu baru menunjukkan pukul lima. Ivonne memejamkan mata. Berusaha mengusir bayangan silau lampu motor dan suara decitan ban dalam mimpinya. Mimpi yang sama.

Mimpi buruk yang telah dialaminya selama sepuluh tahun, sejak kematian kedua orang tuanya....
Ivonne menggeleng keras. Dia bangun dan mengenakan sandal kamarnya, semua itu diulangi sebanyak tiga kali. Walaupun masih mengantuk, dia harus bangun pagi-pagi sekali. Dia harus mempersiapkan diri sebelum berangkat ke kantor. Menyalakan kompor untuk membuat sarapan, makan, mencuci piring bekas sarapan, menyapu lantai rumah, gosok gigi, mandi, berpakaian, menggelung ketat rambutnya, dan berdandan. Semua itu harus dilakukannya sebanyak tiga kali.
Ivonne menarik napas lega ketika dia selesai memulas lipstiknya untuk ketiga kalinya. Terkadang dia merasa lelah dengan ‘ritual tiga’-nya. Terlalu menyita waktu dan energinya. Akan tetapi, dia tidak berani melanggar. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Sesuatu yang buruk seperti kematian orang tuanya, yang menyebabkan dia kini sendirian, bukan bertiga lagi seperti dulu.

Mata Ivonne mengerjap, mengusir air mata yang hampir mengalir turun. Dia menepuk punggung tangannya tiga kali, lalu membuka pintu rumah.

Saat dia sudah berada di dalam mobilnya, waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Dia harus bergegas! Kemarin, Pak Darmawan Sejati, bosnya sekaligus pamannya dari pihak ibu, mengumumkan bahwa akan datang seorang technical engineering bernama Theofilus Lundenberg dari Chemical International Cooperation, kantor pusat di Australia. Rencananya, Theofilus Lundenberg akan memperkenalkan produk kimia hasil penelitian terbaru. Pak Darmawan Sejati juga menugaskan Ivonne agar menjadi asisten pribadi Theofilus Lundenberg selama dia di Jakarta.
By : Femina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar