Selasa, 03 Januari 2012

Marissa (Bagian 3)

Ketika sore itu aku tiba kembali ke rumah sakit, aku dikejutkan oleh laporan Bu Nanik mengenai keadaan Delia saat kutinggal tadi. Katanya, Delia berteriak-teriak histeris seperti orang gila. Delia tidak dapat mengendalikan dirinya sampai ia harus dipegangi banyak orang. Ia tidak mengenali Bu Nanik yang berada di dekatnya. Bahkan, ia tidak mengenali dirinya sendiri.

“Dia terus meminta cermin dan mengatakan ingin kembali... ingin kembali. Tidak tahu mau kembali ke mana. Sudah kayak gini, Ran,“ cerita Bu Nanik, sambil menyilangkan telunjuknya di dahi.

Aku merasa tidak enak seketika. Apakah ia ingin kembali bekerja? Vonis Satya atasnya merupakan pukulan telak yang bisa menghabisi jaminan masa depannya. Bagaimana tidak? Untuk seorang sekretaris dengan kategori lemot begitu, Delia memiliki gaji besar. Hampir setara dengan gaji manajer senior!

Bu Nanik bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana, Bu?“ tanyaku tidak enak melihatnya seperti mau kabur begitu. Wanita berusia lima puluh tahun itu tertawa. Ia mengatakan harus kembali ke kantor karena Satya mendesak dibuatkan ini dan itu. Bu Nanik juga mengatakan, Satya akan menyusul ke rumah sakit, tapi tidak dijelaskan kapan waktunya. Oh, sempurna sekali.

Lalu aku ditinggal sendirian. Aku mulai menyibukkan diri dengan menyelesaikan beberapa masalah Delia. Mengatur bajunya di loker kecil di bawah mejanya, menebus beberapa obat di apotek dan beberapa administrasi lainnya yang cukup melelahkan. Aku harus mondar-mandir ke sana-sini sampai akhirnya semuanya selesai selepas magrib. Aku baru bisa duduk beristirahat pada sebuah kursi di depan kamar Delia.

Kuangkat wajahku saat aku mencium aroma parfum yang amat kukenal menebar harum di sekitarku. Satya berjalan mendekat dengan gayanya yang khas. Tegak, lurus, dan tanpa suara. Jika saja ia tidak mengenakan parfum Bvlgari-nya, pasti aku tidak akan menyadari kehadirannya. Tanpa bicara, diletakkannya sekotak makanan yang dari etiketnya aku tahu itu makanan Jepang kesukaanku. Kemudian ia berjalan menuju ruang perawat. Memberikan kesempatan padaku untuk makan.

Ya, ampun... aku baru sadar betapa perihnya perutku. Ini sudah hampir pukul tujuh malam dan aku hanya berbuka dengan air mineral untuk membatalkan puasaku. Beef teriyaki ini rasanya benar-benar super. Ebi katsu, tepanyaki dan ekado-nya juga spicy serta crunchy...  oh, yummy... yummy!

Saat aku tengah asyik makan, Satya sudah balik lagi dan membuatku buru-buru menyesap jus stroberi dengan float es krim vanilla. Enak, sih. Tapi, akan lebih enak lagi kalau tidak ada Satya berdiri di sana. Dia seakan memberikan tekanan mental manakala berada di sekitarku. Rasanya aku dituntut untuk selalu benar dan beres di hadapannya.

Ia memandangku dengan ekspresi datar saja.

“Makanlah. Jangan berhenti karena aku ada di sini,“ katanya, sambil duduk kembali di sisiku. Aku merasa tidak nyaman memperhatikan beef teriyaki di pangkuanku yang masih separuh itu. Aroma minyak wijen dan saus kikkoman yang bergelimang di antara irisan daging dan bawang bombay.... Oh, tidak!

“Aku membuatmu kehilangan selera, ya?“

Makin tidak menyenangkan saja. Separuh menyesal, kututup kotak untuk menghindari aroma yang menggoda.

“Tidak juga... perutku masih beradaptasi setelah sekian lama kosong,“ jawabku. Betapa munafiknya!

“Puasa?“

Aku mengangguk.

“Kau persis Tante Dian,“ ia menyebut almarhumah ibuku tanpa ekspresi. Rasanya acara makanku memang harus selesai. Seleraku lenyap seketika.

“Aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Delia bisa lupa akan segala sesuatu mengenai dirinya?“ Satya bersandar pada bangku, lalu menoleh padaku, “Kau percaya itu?“

Mengapa tidak? Aku membatin. Seseorang yang berada dalam tekanan seperti yang dialami Delia, tidak hanya bisa menjadi histeris karena stres. Mungkin  ia bisa juga nekat bunuh diri.

“Keluarganya sudah diberi tahu?“ Satya kembali bertanya. Aku menggeleng.  Kuceritakan pengalamanku tadi siang bersama Pak Harso dan menjelaskan keadaan Delia selama bermukim di apartemen itu. Satya mengerutkan alisnya.

“Kau harus kerja keras mencarinya. Aku tidak mau diganggu oleh wanita itu lagi.” 

Aku menatapnya takjub. Betapa tidak berperasaan! Celakanya lagi, dia adalah sepupuku!

“Delia sedang sakit…,” aku hanya berusaha menyindirnya karena Delia bisa seperti sekarang mungkin juga akibat dari kekejaman sikapnya.

“Kita harus bisa segera kembali fokus ke pekerjaan. Dan pastikan Bu Nanik mencari penggantinya dalam minggu ini. Atau….”

“Atau apa?”

“Kau yang akan menggantikan Delia.”

Aku tak mau itu terjadi. Menjadi sekretaris Satya? Tidak. Terima kasih. Aku lebih baik mengundurkan diri. Aku beranjak ke tempat perawat untuk pamit dan mengharapkan mereka menghubungiku atau Bu Nanik, apabila terjadi sesuatu pada Delia. Setelah itu, aku menyusul Satya yang sudah berjalan lebih dulu. Itulah Satya, selalu bergerak cepat. Memberikan kesan terburu-buru.

Kami diam sepanjang perjalanan. Aku memang selalu merasa kurang nyaman, bila berada di dekatnya. Mungkin karena ada tekanan dalam diriku. Sebab, di saat yang sama, ia adalah sepupu dan juga bosku. Dan Satya sama sekali tidak pernah menunjukkan perbedaan kapan menjadi saudara dan kapan menjadi bos. Bagiku, ia selalu menunjukkan dirinya bos di mana pun ia berada. Sehingga, aku merasa ada jarak antara dirinya dengan kami semua.

“Pastikan kau mendapatkan sebuah nama untuk bisa didatangkan, Ran,“ ia menatapku dengan pandangan menusuk.

“Tapi... saya harus mengurus gaji staf,“ aku memberi alasan.

“Bu Nanik yang akan menanganinya.“

Sungguh keterlaluan. Ia sudah merencanakannya dengan baik sejak awal. Aku menjadi sebal sekali padanya. Aku hanya bisa memperhatikan bagaimana ia menyetir dengan cepat, seperti ingin segera keluar dari urusan Delia yang kini dibebankan padaku.

Bersambung

Penulis: Shanty Dwiana

Marissa (Bagian 2)

Apartemen ini mirip dengan hotel. Ada lobi, minimarket, restoran, children ground, salon & spa, juga tempat menjual majalah.  Aku menuju resepsionis yang sudah tersenyum padaku saat aku berjalan ke arahnya. Dengan ramah ia memperkenalkan dirinya, lalu menanyakan maksud kedatanganku.

Sudah pasti aku berterus terang mengharapkan bantuan mereka agar dapat masuk ke dalam apartemen Delia. Karena ketidaklaziman ini, aku harus menjalani beberapa prosedur ruwet yang akhirnya mempertemukan aku dengan manajer pengelola yang bertugas saat itu. Aku harus mengulang kembali ceritaku sebelum akhirnya diizinkan membuka pintu apartemen Delia didampingi manajer pengelola itu dan seorang anggota sekuriti.

“Bu Delia sakit apa, Bu?”  Pak Harso, manajer yang mengawalku, bertanya ketika kami berada di dalam lift.

“Kurang tahu, ya, karena masih diobservasi. Hasil laboratoriumnya juga belum keluar. Saya diminta mencari keluarganya, Pak.”

“Oh, begitu. Mungkin agak susah juga bagi Ibu,” di luar dugaan, Pak Harso mengatakan sesuatu yang mengejutkanku.

“Mengapa demikian?”

“Selama tinggal di sini, kami hampir tidak pernah melihat Bu Delia kedatangan tamu. Beliau juga tidak pernah bergaul dengan para penghuni apartemen lainnya. Sama seperti teman-temannya yang terdahulu.”

“Teman-temannya terdahulu?” aku mengerutkan alis.

Pak Harso tersenyum sopan seraya mengangguk.

“Para sekretaris almarhum Pak Yudha memang tinggal di sini. Ada tiga seingat saya. Bu Marissa, Bu Nadia, dan Bu Delia.”

Oh, ya, ampun… aku malah baru tahu. Memang ada rumor miring mengenai kehidupan Pak Yudha, ayah Satya itu. Wajahnya memang tampan, bertubuh tinggi tegap. Ia adalah mantan pelaut yang sukses membuka usaha penangkapan, pengalengan, dan pembekuan ikan. Penampilannya flamboyan, dan suka sekali pada wanita-wanita cantik dan bertubuh seksi. Sangat berbeda dengan Satya yang keras, tegas, dan fokus pada segala hal yang membuatnya sukses di usia yang belum mencapai tiga puluh tahun.

Aku tidak tahu mengapa mereka berdua begitu berbeda. Satya sangat  bersemangat, sedang ayahnya angin-anginan. Satya penganut klan jomblo, ayahnya adalah seorang casanova. Atau mungkin karena Satya anak angkat Pak Yudha? Tapi, anehnya, kalau memang Satya seorang anak angkat, mengapa wajah dan perawakannya demikian mirip dengan Pak Yudha? Kecuali kulit Satya lebih putih dibandingkan ayahnya yang mantan pelaut itu.

Pintu terbuka. Aroma pengap langsung menyerbu keluar menandakan ruangan ini kurang mendapatkan udara segar, atau jarang dibersihkan. Pak Harso dan aku masuk ke dalam, sedangkan petugas sekuriti itu berdiri di ambang pintu.

Aku berjalan ragu-ragu sambil memperhatikan keadaan yang menurutku tidak nyaman karena keadaan cukup gelap. Pak Harso menyalakan lampu. Sekarang aku bisa melihat jelas pada apartemen yang ditata minimalis ini. Sayangnya, berantakan sekali. Piring dan gelas kotor tergeletak asal saja di atas meja, rak teve, dan meja telepon. Tisu bekas berserakan.

Pak Harso kemudian mengarahkan aku ke ruang tidur Delia.  Ternyata sama saja berantakannya, dan terus terang membuatku malu sebagai wanita. Ranjangnya acak-acakan, bantalnya digulung oleh bed cover yang menjuntai ke bawah ranjang. Baju-baju kotornya juga bergantungan di kapstok. Handuk, sandal jepit, dan kimononya berserakan di atas lantai.

“Silakan, Bu, saya menunggu di sini saja,“ dengan sopan Pak Harso keluar. Mungkin ia tidak mau aku terlihat kikuk dengan keadaan yang porak- poranda itu. Aku berterima kasih padanya.

Kupungut handuk dan kimononya, lalu kuletakkan pada sebuah ember di kamar mandi. Demikian juga dengan baju dalamnya yang tergantung pada shower, kupindahkan ke dalam ember yang sama. Kubuka lemari bajunya yang sama berantakan isinya. Sungguh mengherankan, ada seseorang yang sedemikian jorok.

Kuambil pakaian dan baju dalam seperlunya. Lalu kutarik sebuah travel bag dari atas lemari yang segera saja menebarkan debu yang membuatku terbatuk-batuk. Jatuh bersama travel bag itu beberapa berkas yang langsung bertebaran di atas lantai.

“Ibu tidak apa-apa?“ Pak Harso melongok. Ia lalu tersenyum canggung melihatku mengibas-ngibaskan tanganku ke udara untuk menghalau debu. Dengan penuh inisiatif, lelaki itu meraih remote dari atas meja rias dan menyalakan AC untuk menetralkan hawa yang kurang nyaman ini.
Pak Harso kemudian menyodorkan sebuah blister obat yang sudah kosong yang diambilnya dari meja rias. Exelon, itu yang terbaca di antara kepingan bungkus aluminium yang bisa kubaca.

“Barangkali diperlukan, Bu,“ ujarnya, sopan.

Berkas-berkas yang berserakan itu juga kumasukkan kembali dalam sebuah map yang ikut terjatuh, lalu kujadikan satu ke dalam travel bag. Setelah semuanya kupandang cukup, aku dan Pak Harso sama-sama menandatangani surat pernyataan serah terima barang dari apartemen Delia. Sayangnya, aku tidak menemukan laptop atau PC yang dapat kuambil datanya.

Bersambung

Penulis: Shanty Dwiana

Marissa (Bagian 1)

Kami berjalan cepat menuju toilet begitu mendapat laporan dari satpam kalau Delia ditemukan pingsan di sana.

Di depan toilet sudah berkerumun beberapa orang pegawai yang berusaha merangsek masuk. Melihat kami datang, mereka menyeruak ke samping untuk memberi jalan.

Di bawah sana, di dekat wastafel, tergeletak sosok Delia dalam keadaan tak sadarkan diri. Sisa-sisa muntahan tampak berceceran, mulai dari wastafel hingga lantai di mana ia tergeletak. Aku berlutut untuk memeriksa keadaannya. Nadinya  berdenyut lemah saat kusentuh lehernya.

“Panggilkan ambulans!” seruku, pada kerumunan pegawai di pintu.

Bu Nanik memangku kepala Delia agar posisinya lebih tinggi, supaya ia dapat bernapas dengan baik. Seorang pegawai membawakan minyak angin yang segera kuoleskan pada bagian bawah hidung dan pelipis Delia untuk memberikan rasa dan aroma panas. Kupijat-pijat juga lengan dan kakinya agar ia terjaga. Tetapi, Delia tetap tak sadarkan diri. Dahinya benjol dan berdarah sedikit,  mungkin karena terbentur saat jatuh tadi.

Satya –bos kami– datang dengan tiba-tiba di toilet itu. Membuat kerumunan pegawai buyar dalam hitungan detik. Kami menengadah ke arahnya. Wajah lelaki yang juga sepupuku itu kelihatan datar-datar saja memerhatikan bagaimana Delia terkapar. Seakan-akan ia tidak pernah memanggil wanita itu ke ruangannya beberapa saat yang lalu. Memarahinya habis-habisan, lalu menjatuhkan surat peringatan keempat padanya tanpa ampun.

Ya. Delia baru saja menerima vonis yang membuat dirinya harus segera keluar dari perusahaan ini, jika tidak mau dipecat tanpa pesangon. Ini merupakan keputusan final perusahaan terhadap wanita berusia 33 tahun atas segala prestasi yang tidak memuaskan selama bekerja di perusahaan kami.

Sekitar 15 menit kemudian, ambulans datang.  Aku berharap Satya akan mengatakan atau menyatakan sesuatu atas perkara ini. Tetapi, seperti yang sudah kuduga, ia diam saja memerhatikan bagaimana kami berjalan tergesa di sisi brankar yang membawa Delia di atasnya. Kami ikut masuk ke dalam ambulans untuk mengurus keperluan Delia.

Aku tidak tahu apakah karena Satya masih menyimpan kekesalan yang begitu luar biasa pada seorang Delia, atau karena memang watak aslinya demikian sehingga Satya tampak begitu tega di mataku. Tapi, kalau dipikir-pikir, Delia memang keterlaluan. Ia telah membuat Satya terlunta-lunta di Lombok pada saat menghadiri undangan kewirausahaan di sana.

Oh, ya, ampun... betapa marahnya dia. Aku bisa mengerti betapa paniknya dia saat meneleponku pada hari Jumat kemarin. Ia sudah sampai di Hotel Grand Emerald pada pukul 8 malam waktu Lombok. Ia terpaksa berangkat hari Jumat malam dari Surabaya karena penerbangan pada Sabtu pagi sudah penuh. Sedangkan esoknya ia harus mengisi acara ceramah pada sesi kedua.

Aku bisa membayangkan kemarahannya. Satya baru saja tiba dari Singapura, belum sempat pulang ke rumah. Ia sudah harus pergi memberikan pengalamannya menjadi pengusaha waralaba yang sukses pada seminar marketing bagi para pemula di Lombok. Ia lelah, tapi masih memiliki semangat untuk menularkan ilmunya. Tetapi, apa yang diperolehnya adalah kekacauan. Delia adalah sumber kekacauannya itu.

Sebenarnya, Satya tidaklah sekasar itu. Ia lebih menjurus untuk selalu bersikap tegas, serius, dan memegang tinggi komitmen. Tak heran, di usianya yang baru 30 tahun, ia sudah memiliki semuanya. Investasi, prestasi, dan prestise. Ia memiliki jaringan waralaba untuk bakso dan bebek goreng yang tersebar di seluruh negeri. Serta sebuah pabrik pengalengan ikan warisan ayahnya yang menjadi cikal bakal perusahaan kami sekarang ini.

Satya bukanlah tipe orang yang cukup sabar. Ia menginginkan semuanya berjalan dengan cepat, tepat, sesuai kesepakatan bersama. Ia tidak akan senang, jika ada sesuatu yang keluar dari komitmen itu. Lebih-lebih, jika tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal.

Dan Delia sudah melewati batas kesabarannya. Bukan sekali ini Satya sudah dibuat keki oleh wanita itu. Tiga bulan lalu, ia hampir gagal menggelar pameran bisnis UKM di Malang karena tidak mengantongi izin dari pihak pemda setempat. Padahal, Satya sudah menandatangani proposalnya tiga bulan sebelumnya. Setelah diselidiki, ternyata file itu masih tersimpan di laci meja Delia, tertumpuk berkas-berkas lain yang tidak berguna.

Kami juga pernah kena denda besar dalam perpajakan karena terlambat setor. Masalahnya, berkas itu tidak sampai ke tangan bagian akunting untuk diserahkan ke kantor pajak. Usut punya usut, Delia menghilangkannya. Ia tidak ingat di mana terakhir kali ia meletakkan berkas itu. Yang jelas, ketika kami bantu mencarinya, amplop itu tidak pernah ada. Jadi, terpaksa kami lembur untuk mengerjakan sekali lagi. Dan kena denda, tentunya.

Dan masih ada beberapa kesalahan yang membuatnya menjadi  makin parah di depan kami. Delia kerap menghilang di antara jam kerjanya. Jika melewati hari libur panjang, maka ia akan menambah dua hari ekstra berikutnya dengan alasan tidak mendapat tiket. Jika Satya marah, dengan mudah ia akan bilang pada Bu Nanik untuk memotong jatah cuti tahunannya.

Perangainya itu menjadikan hambatan besar bagi kami rekan sekerjanya. Terutama jika ada hal-hal yang membutuhkan hubungannya dengan Satya yang tidak selalu berada di tempat. Jika Delia sedang ’kumat’ begitu, maka akulah yang akan dijadikan sasaran mereka untuk menghubungkan mereka dengan Satya. Dan mengerjakan pekerjaannya yang amburadul, tentunya.

Aku tidak mengerti apa yang menyebabkan Delia mampu bertahan di sini sedangkan hampir semua rekan kerjanya sudah tidak welcome terhadap kehadirannya. Bagaimana mungkin seseorang yang dihadapkan pada tekanan psikologis seperti itu masih bisa melenggang tenang mengenakan baju kebangsaannya: blus dengan kerah turtle neck, mini skirt, dan blazer-blazer yang modis. Dengan make up yang termasuk menor untuk wanita seumurnya, Delia tampak percaya diri sekali. Seakan tidak ada masalah antara dirinya dengan kantor ini. Kalau bukan bebal, maka pastilah ia bermental baja.

Kami menunggu perawatan Delia cukup lama sampai ia sadar sekitar pukul satu siang. Ia demikian lemah saat membuka matanya yang kelihatan kosong memandang ke arah langit-langit. Delia membisu seakan-akan mulutnya telah terkunci rapat. Aku menghela napas hampir bersamaan dengan Bu Nanik.

Ia pasti sedang mengalami shock yang luar biasa.

Akhirnya aku dan Bu Nanik berbagi tugas. Aku ke rumah Delia untuk mengambil beberapa pakaian dan barang-barang pribadi yang dibutuhkannya, sementara Bu Nanik akan menunggui wanita itu sampai aku kembali.

“Apa pun yang bisa menghubungkan kita dengan keluarganya, Ran, harus kautemukan,“ itu pesan Bu Nanik padaku.

Aku mengerti, oleh sebab itu aku harus bergegas menuju apartemen tempat Delia tinggal. Memang agak mengherankan kalau sekretaris berprestasi kurang baik seperti Delia mampu tinggal pada sebuah apartemen mewah sekelas Apartemen Satelit. Di mana untuk memasuki apartemen itu saja harus  melewati barisan pengamanan seperti di hotel-hotel bintang lima. Bukannya berburuk sangka. Sebesar apa pun gaji Delia, rasanya belum cukup layak untuk tinggal di tempat seperti ini.

Bersambung

Penulis: Shanty Dwiana

Jumat, 02 Desember 2011

Untuk Mamaku

Selama ini apa yang kau katakan dan kau larang
itu adalah hal yang terbaik untuk ku,
Engkau selalu ada untuk ku
Engkau adalah teman ku,
yang selalu mendengarkan cerita-cerita ku.
yang selalu ada saat aku membutuhkan seseorang.
engkau selalu berkorban untuk ku.
Cinta mu untuk ku adalah cinta yang tulus
Cinta yang sejati, cinta yang murni
mama aku mencintai mu dan selalu mencintai mu
Aku tidak akan pernah melupakan mu.
I love you mom

Sistem Pakar Dalam Bidang Kedokteran


contoh sederhana dari penerapan sistem pakar dalam bidang kedokteran, yaitu diagnosis penyakit berdasarkan gejala-gejala dan beberapa solusi untuk penyembuhannya. Dalam keseharian kita, terdapat beberapa penyakit dengan gejala yang hampir mirip, sebagai contoh influenza, tipus, dan maag. Untuk dapat melakukan diagnosis dengan benar, terlebih dahulu kita harus mengetahui gejala-gejala dari penyakit tersebut. Beberapa gejala yang mungkin timbul dari ketiga jenis penyakit tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Kepala pusing;
  2. Suhu badan tinggi;
  3. Batuk dan pilek;
  4. Badan lemas;
  5. Demam lebih dari tiga hari;
  6. Hasil cek darah menunjukkan positif salmonella paratipii
  7. Nyeri pada ulu hati;
  8. Nyeri pada lambung.
Sedangkan obat yang kami sarankan sebagai solusi untuk mengobati penyakit tersebut meliputi:
  1. Paracetamol;
  2. Antibiotik;
  3. Multivitamin;
  4. Obat anti mual;
  5. CTM (obat tidur).
Dari gejala-gejala tersebut kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
  • Jika gejala yang timbul adalah 1, 2, dan 3 maka dia menderita influenza dan solusi obatnya adalah a, b, dan c.
  • Jika gejala yang timbul adalah 1, 4, 5, dan 6 maka dia menderita tipus dan solusi obatnya adalah a, b, c, d, dan e.
  • Jika gejala yang timbul adalah 1, 7, dan 8 maka dia menderita maag dan solusi obatnya adalah a, b, c, dan d.
Dengan menggunakan sistem pakar ini kita dapat melakukan diagnosis penyakit influenza, tipus, dan maag sehingga kita dapat melakukan pertolongan pertama pada penderita penyakit tersebut.

KASUS PADA KOMPUTER LOKAL (TUNING) DENGAN TES MEMORI

Pengukuran Kinerja Komputer dan Permasalahannya
Tulisan berikut ini akan mengulas salah satu benchmark yang banyak dipergunakan, yakni SPEC, yang dikembangkan oleh System Performance Evaluation Corporation. Uraian tentang benchmark SPEC ini dimaksudkan untuk menjelaskan cara pengukuran kinerja komputer dengan membandingkan waktu eksekusi yang diperlukan oleh suatu komputer untuk satu program tertentu dengan waktu eksekusi pada komputer rujukan. Pada bagian berikutnya diuraikan mengenai kelemahan pengukuran kinerja berbasis 'waktu eksekusi program' tersebut dan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pengukuran kinerja komputer tersebut.
SPEC95
Sebagai upaya untuk mendapatkan tolok-ukur baku agar dapat membandingkan kinerja berbagai sistem komputer, sekelompok perusahaan besar antara lain: DEC, Hewlett-Packard, IBM, Intel, dan Sun sepakat membentuk lembaga non-profit yang diberi nama System Performance Evaluation Corporation (Sharp dan Bacon, 1994:66; Reilly, 1995). Lembaga ini ditugasi untuk mengembangkan dan memberi dukungan terhadap pembakuan benchmark kinerja komputer.
Sebelum membuat program untuk mengukur kinerja komputer, SPEC telah mempelajari sejumlah program yang umum dipakai, menganalisis algoritma dan bahasa mesinnya, menentukan cara mengukur kinerja komputer, dan menentukan rumusan untuk membuat rerata skor kinerja komputer dari skor-skor yang diperoleh masing-masing elemen benchmark. Benchmark SPEC terdiri atas dua kelompok program. Satu kelompok merupakan program-program yang dititik-beratkan pada operasi atas bilangan integer dan satu kelompok lainnya dititikberatkan pada operasi atas bilangan floating-point.
Perangkat benchmark pertama yang dibuat diperkenalkan pada tahun 1989, karenanya disebut SPEC89. Pada tahun 1992 dimunculkan versi baru, dan dengan demikian SPEC89 tidak digunakan lagi. SPEC92 terdiri atas 20 program yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni untuk operasi bilangan integer dan untuk operasi bilangan floating-point. Saat ini, SPEC92 juga sudah tidak digunakan lagi karena telah dimunculkan perangkat benchmark baru yakni SPEC95. Pada SPEC95 ini, komputer rujukan yang digunakan sebagai pembanding berubah dari semula VAX-11/780 menjadi Sun SPARCstation 10/40. Dengan demikian, bila dikatakan skor SPECint95 adalah 5.0, maka berarti sistem yang diuji 5 kali lebih cepat dibanding Sun SPARCstation 10/40.
SPEC95, yang diperkenalkan pada bulan Agustus 1995, merupakan perangkat benchmark yang terdiri atas dua bagian, yakni CINT95 (ditulis dalam bahasa C) dan CFP95 (ditulis dalam bahasa Fortran). CINT95 merupakan bagian dari perangkat SPEC95 yang mengukur kinerja komputer terhadap operasi bilangan integer, yang diasumsikan mewakili program aplikasi bisnis. Bagian lain, yakni CFP95, mengukur kinerja komputer terhadap operasi bilangan floating-point yang diasumsikan mewakili program aplikasi ilmiah-numerik.

Kamis, 10 November 2011

Peristiwa 10 November 1945

Peristiwa 10 November adalah peristiwa bersejarah di Indonesia. Pada tanggal 10 November inilah akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran Surabaya ini adalah peristiwa sejarah perang antara tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Perang ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan. Selain itu merupakan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Korban yang tewas sedikitnya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia dan 200 ribu rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban pasukan Inggris dan India sekitar 600 orang. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby Salah satu peristiwa yang terkenal adalah terbunuhnya Mallaby. Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak-menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.
Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah Suraba Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Memang terbunuhnya seorang Jenderal melanggar peraturan perang, namun saat itu Indonesia memang tidak terkoordinir dan murni dari jiwa perlawanan rakyat.
Insiden Hotel Yamato

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Foto Orasi Bung Tomo Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia.
Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
By : warung bebas