Selasa, 03 Januari 2012

Marissa (Bagian 3)

Ketika sore itu aku tiba kembali ke rumah sakit, aku dikejutkan oleh laporan Bu Nanik mengenai keadaan Delia saat kutinggal tadi. Katanya, Delia berteriak-teriak histeris seperti orang gila. Delia tidak dapat mengendalikan dirinya sampai ia harus dipegangi banyak orang. Ia tidak mengenali Bu Nanik yang berada di dekatnya. Bahkan, ia tidak mengenali dirinya sendiri.

“Dia terus meminta cermin dan mengatakan ingin kembali... ingin kembali. Tidak tahu mau kembali ke mana. Sudah kayak gini, Ran,“ cerita Bu Nanik, sambil menyilangkan telunjuknya di dahi.

Aku merasa tidak enak seketika. Apakah ia ingin kembali bekerja? Vonis Satya atasnya merupakan pukulan telak yang bisa menghabisi jaminan masa depannya. Bagaimana tidak? Untuk seorang sekretaris dengan kategori lemot begitu, Delia memiliki gaji besar. Hampir setara dengan gaji manajer senior!

Bu Nanik bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana, Bu?“ tanyaku tidak enak melihatnya seperti mau kabur begitu. Wanita berusia lima puluh tahun itu tertawa. Ia mengatakan harus kembali ke kantor karena Satya mendesak dibuatkan ini dan itu. Bu Nanik juga mengatakan, Satya akan menyusul ke rumah sakit, tapi tidak dijelaskan kapan waktunya. Oh, sempurna sekali.

Lalu aku ditinggal sendirian. Aku mulai menyibukkan diri dengan menyelesaikan beberapa masalah Delia. Mengatur bajunya di loker kecil di bawah mejanya, menebus beberapa obat di apotek dan beberapa administrasi lainnya yang cukup melelahkan. Aku harus mondar-mandir ke sana-sini sampai akhirnya semuanya selesai selepas magrib. Aku baru bisa duduk beristirahat pada sebuah kursi di depan kamar Delia.

Kuangkat wajahku saat aku mencium aroma parfum yang amat kukenal menebar harum di sekitarku. Satya berjalan mendekat dengan gayanya yang khas. Tegak, lurus, dan tanpa suara. Jika saja ia tidak mengenakan parfum Bvlgari-nya, pasti aku tidak akan menyadari kehadirannya. Tanpa bicara, diletakkannya sekotak makanan yang dari etiketnya aku tahu itu makanan Jepang kesukaanku. Kemudian ia berjalan menuju ruang perawat. Memberikan kesempatan padaku untuk makan.

Ya, ampun... aku baru sadar betapa perihnya perutku. Ini sudah hampir pukul tujuh malam dan aku hanya berbuka dengan air mineral untuk membatalkan puasaku. Beef teriyaki ini rasanya benar-benar super. Ebi katsu, tepanyaki dan ekado-nya juga spicy serta crunchy...  oh, yummy... yummy!

Saat aku tengah asyik makan, Satya sudah balik lagi dan membuatku buru-buru menyesap jus stroberi dengan float es krim vanilla. Enak, sih. Tapi, akan lebih enak lagi kalau tidak ada Satya berdiri di sana. Dia seakan memberikan tekanan mental manakala berada di sekitarku. Rasanya aku dituntut untuk selalu benar dan beres di hadapannya.

Ia memandangku dengan ekspresi datar saja.

“Makanlah. Jangan berhenti karena aku ada di sini,“ katanya, sambil duduk kembali di sisiku. Aku merasa tidak nyaman memperhatikan beef teriyaki di pangkuanku yang masih separuh itu. Aroma minyak wijen dan saus kikkoman yang bergelimang di antara irisan daging dan bawang bombay.... Oh, tidak!

“Aku membuatmu kehilangan selera, ya?“

Makin tidak menyenangkan saja. Separuh menyesal, kututup kotak untuk menghindari aroma yang menggoda.

“Tidak juga... perutku masih beradaptasi setelah sekian lama kosong,“ jawabku. Betapa munafiknya!

“Puasa?“

Aku mengangguk.

“Kau persis Tante Dian,“ ia menyebut almarhumah ibuku tanpa ekspresi. Rasanya acara makanku memang harus selesai. Seleraku lenyap seketika.

“Aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Delia bisa lupa akan segala sesuatu mengenai dirinya?“ Satya bersandar pada bangku, lalu menoleh padaku, “Kau percaya itu?“

Mengapa tidak? Aku membatin. Seseorang yang berada dalam tekanan seperti yang dialami Delia, tidak hanya bisa menjadi histeris karena stres. Mungkin  ia bisa juga nekat bunuh diri.

“Keluarganya sudah diberi tahu?“ Satya kembali bertanya. Aku menggeleng.  Kuceritakan pengalamanku tadi siang bersama Pak Harso dan menjelaskan keadaan Delia selama bermukim di apartemen itu. Satya mengerutkan alisnya.

“Kau harus kerja keras mencarinya. Aku tidak mau diganggu oleh wanita itu lagi.” 

Aku menatapnya takjub. Betapa tidak berperasaan! Celakanya lagi, dia adalah sepupuku!

“Delia sedang sakit…,” aku hanya berusaha menyindirnya karena Delia bisa seperti sekarang mungkin juga akibat dari kekejaman sikapnya.

“Kita harus bisa segera kembali fokus ke pekerjaan. Dan pastikan Bu Nanik mencari penggantinya dalam minggu ini. Atau….”

“Atau apa?”

“Kau yang akan menggantikan Delia.”

Aku tak mau itu terjadi. Menjadi sekretaris Satya? Tidak. Terima kasih. Aku lebih baik mengundurkan diri. Aku beranjak ke tempat perawat untuk pamit dan mengharapkan mereka menghubungiku atau Bu Nanik, apabila terjadi sesuatu pada Delia. Setelah itu, aku menyusul Satya yang sudah berjalan lebih dulu. Itulah Satya, selalu bergerak cepat. Memberikan kesan terburu-buru.

Kami diam sepanjang perjalanan. Aku memang selalu merasa kurang nyaman, bila berada di dekatnya. Mungkin karena ada tekanan dalam diriku. Sebab, di saat yang sama, ia adalah sepupu dan juga bosku. Dan Satya sama sekali tidak pernah menunjukkan perbedaan kapan menjadi saudara dan kapan menjadi bos. Bagiku, ia selalu menunjukkan dirinya bos di mana pun ia berada. Sehingga, aku merasa ada jarak antara dirinya dengan kami semua.

“Pastikan kau mendapatkan sebuah nama untuk bisa didatangkan, Ran,“ ia menatapku dengan pandangan menusuk.

“Tapi... saya harus mengurus gaji staf,“ aku memberi alasan.

“Bu Nanik yang akan menanganinya.“

Sungguh keterlaluan. Ia sudah merencanakannya dengan baik sejak awal. Aku menjadi sebal sekali padanya. Aku hanya bisa memperhatikan bagaimana ia menyetir dengan cepat, seperti ingin segera keluar dari urusan Delia yang kini dibebankan padaku.

Bersambung

Penulis: Shanty Dwiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar