Selasa, 03 Januari 2012

Marissa (Bagian 2)

Apartemen ini mirip dengan hotel. Ada lobi, minimarket, restoran, children ground, salon & spa, juga tempat menjual majalah.  Aku menuju resepsionis yang sudah tersenyum padaku saat aku berjalan ke arahnya. Dengan ramah ia memperkenalkan dirinya, lalu menanyakan maksud kedatanganku.

Sudah pasti aku berterus terang mengharapkan bantuan mereka agar dapat masuk ke dalam apartemen Delia. Karena ketidaklaziman ini, aku harus menjalani beberapa prosedur ruwet yang akhirnya mempertemukan aku dengan manajer pengelola yang bertugas saat itu. Aku harus mengulang kembali ceritaku sebelum akhirnya diizinkan membuka pintu apartemen Delia didampingi manajer pengelola itu dan seorang anggota sekuriti.

“Bu Delia sakit apa, Bu?”  Pak Harso, manajer yang mengawalku, bertanya ketika kami berada di dalam lift.

“Kurang tahu, ya, karena masih diobservasi. Hasil laboratoriumnya juga belum keluar. Saya diminta mencari keluarganya, Pak.”

“Oh, begitu. Mungkin agak susah juga bagi Ibu,” di luar dugaan, Pak Harso mengatakan sesuatu yang mengejutkanku.

“Mengapa demikian?”

“Selama tinggal di sini, kami hampir tidak pernah melihat Bu Delia kedatangan tamu. Beliau juga tidak pernah bergaul dengan para penghuni apartemen lainnya. Sama seperti teman-temannya yang terdahulu.”

“Teman-temannya terdahulu?” aku mengerutkan alis.

Pak Harso tersenyum sopan seraya mengangguk.

“Para sekretaris almarhum Pak Yudha memang tinggal di sini. Ada tiga seingat saya. Bu Marissa, Bu Nadia, dan Bu Delia.”

Oh, ya, ampun… aku malah baru tahu. Memang ada rumor miring mengenai kehidupan Pak Yudha, ayah Satya itu. Wajahnya memang tampan, bertubuh tinggi tegap. Ia adalah mantan pelaut yang sukses membuka usaha penangkapan, pengalengan, dan pembekuan ikan. Penampilannya flamboyan, dan suka sekali pada wanita-wanita cantik dan bertubuh seksi. Sangat berbeda dengan Satya yang keras, tegas, dan fokus pada segala hal yang membuatnya sukses di usia yang belum mencapai tiga puluh tahun.

Aku tidak tahu mengapa mereka berdua begitu berbeda. Satya sangat  bersemangat, sedang ayahnya angin-anginan. Satya penganut klan jomblo, ayahnya adalah seorang casanova. Atau mungkin karena Satya anak angkat Pak Yudha? Tapi, anehnya, kalau memang Satya seorang anak angkat, mengapa wajah dan perawakannya demikian mirip dengan Pak Yudha? Kecuali kulit Satya lebih putih dibandingkan ayahnya yang mantan pelaut itu.

Pintu terbuka. Aroma pengap langsung menyerbu keluar menandakan ruangan ini kurang mendapatkan udara segar, atau jarang dibersihkan. Pak Harso dan aku masuk ke dalam, sedangkan petugas sekuriti itu berdiri di ambang pintu.

Aku berjalan ragu-ragu sambil memperhatikan keadaan yang menurutku tidak nyaman karena keadaan cukup gelap. Pak Harso menyalakan lampu. Sekarang aku bisa melihat jelas pada apartemen yang ditata minimalis ini. Sayangnya, berantakan sekali. Piring dan gelas kotor tergeletak asal saja di atas meja, rak teve, dan meja telepon. Tisu bekas berserakan.

Pak Harso kemudian mengarahkan aku ke ruang tidur Delia.  Ternyata sama saja berantakannya, dan terus terang membuatku malu sebagai wanita. Ranjangnya acak-acakan, bantalnya digulung oleh bed cover yang menjuntai ke bawah ranjang. Baju-baju kotornya juga bergantungan di kapstok. Handuk, sandal jepit, dan kimononya berserakan di atas lantai.

“Silakan, Bu, saya menunggu di sini saja,“ dengan sopan Pak Harso keluar. Mungkin ia tidak mau aku terlihat kikuk dengan keadaan yang porak- poranda itu. Aku berterima kasih padanya.

Kupungut handuk dan kimononya, lalu kuletakkan pada sebuah ember di kamar mandi. Demikian juga dengan baju dalamnya yang tergantung pada shower, kupindahkan ke dalam ember yang sama. Kubuka lemari bajunya yang sama berantakan isinya. Sungguh mengherankan, ada seseorang yang sedemikian jorok.

Kuambil pakaian dan baju dalam seperlunya. Lalu kutarik sebuah travel bag dari atas lemari yang segera saja menebarkan debu yang membuatku terbatuk-batuk. Jatuh bersama travel bag itu beberapa berkas yang langsung bertebaran di atas lantai.

“Ibu tidak apa-apa?“ Pak Harso melongok. Ia lalu tersenyum canggung melihatku mengibas-ngibaskan tanganku ke udara untuk menghalau debu. Dengan penuh inisiatif, lelaki itu meraih remote dari atas meja rias dan menyalakan AC untuk menetralkan hawa yang kurang nyaman ini.
Pak Harso kemudian menyodorkan sebuah blister obat yang sudah kosong yang diambilnya dari meja rias. Exelon, itu yang terbaca di antara kepingan bungkus aluminium yang bisa kubaca.

“Barangkali diperlukan, Bu,“ ujarnya, sopan.

Berkas-berkas yang berserakan itu juga kumasukkan kembali dalam sebuah map yang ikut terjatuh, lalu kujadikan satu ke dalam travel bag. Setelah semuanya kupandang cukup, aku dan Pak Harso sama-sama menandatangani surat pernyataan serah terima barang dari apartemen Delia. Sayangnya, aku tidak menemukan laptop atau PC yang dapat kuambil datanya.

Bersambung

Penulis: Shanty Dwiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar