Selasa, 03 Januari 2012

Marissa (Bagian 1)

Kami berjalan cepat menuju toilet begitu mendapat laporan dari satpam kalau Delia ditemukan pingsan di sana.

Di depan toilet sudah berkerumun beberapa orang pegawai yang berusaha merangsek masuk. Melihat kami datang, mereka menyeruak ke samping untuk memberi jalan.

Di bawah sana, di dekat wastafel, tergeletak sosok Delia dalam keadaan tak sadarkan diri. Sisa-sisa muntahan tampak berceceran, mulai dari wastafel hingga lantai di mana ia tergeletak. Aku berlutut untuk memeriksa keadaannya. Nadinya  berdenyut lemah saat kusentuh lehernya.

“Panggilkan ambulans!” seruku, pada kerumunan pegawai di pintu.

Bu Nanik memangku kepala Delia agar posisinya lebih tinggi, supaya ia dapat bernapas dengan baik. Seorang pegawai membawakan minyak angin yang segera kuoleskan pada bagian bawah hidung dan pelipis Delia untuk memberikan rasa dan aroma panas. Kupijat-pijat juga lengan dan kakinya agar ia terjaga. Tetapi, Delia tetap tak sadarkan diri. Dahinya benjol dan berdarah sedikit,  mungkin karena terbentur saat jatuh tadi.

Satya –bos kami– datang dengan tiba-tiba di toilet itu. Membuat kerumunan pegawai buyar dalam hitungan detik. Kami menengadah ke arahnya. Wajah lelaki yang juga sepupuku itu kelihatan datar-datar saja memerhatikan bagaimana Delia terkapar. Seakan-akan ia tidak pernah memanggil wanita itu ke ruangannya beberapa saat yang lalu. Memarahinya habis-habisan, lalu menjatuhkan surat peringatan keempat padanya tanpa ampun.

Ya. Delia baru saja menerima vonis yang membuat dirinya harus segera keluar dari perusahaan ini, jika tidak mau dipecat tanpa pesangon. Ini merupakan keputusan final perusahaan terhadap wanita berusia 33 tahun atas segala prestasi yang tidak memuaskan selama bekerja di perusahaan kami.

Sekitar 15 menit kemudian, ambulans datang.  Aku berharap Satya akan mengatakan atau menyatakan sesuatu atas perkara ini. Tetapi, seperti yang sudah kuduga, ia diam saja memerhatikan bagaimana kami berjalan tergesa di sisi brankar yang membawa Delia di atasnya. Kami ikut masuk ke dalam ambulans untuk mengurus keperluan Delia.

Aku tidak tahu apakah karena Satya masih menyimpan kekesalan yang begitu luar biasa pada seorang Delia, atau karena memang watak aslinya demikian sehingga Satya tampak begitu tega di mataku. Tapi, kalau dipikir-pikir, Delia memang keterlaluan. Ia telah membuat Satya terlunta-lunta di Lombok pada saat menghadiri undangan kewirausahaan di sana.

Oh, ya, ampun... betapa marahnya dia. Aku bisa mengerti betapa paniknya dia saat meneleponku pada hari Jumat kemarin. Ia sudah sampai di Hotel Grand Emerald pada pukul 8 malam waktu Lombok. Ia terpaksa berangkat hari Jumat malam dari Surabaya karena penerbangan pada Sabtu pagi sudah penuh. Sedangkan esoknya ia harus mengisi acara ceramah pada sesi kedua.

Aku bisa membayangkan kemarahannya. Satya baru saja tiba dari Singapura, belum sempat pulang ke rumah. Ia sudah harus pergi memberikan pengalamannya menjadi pengusaha waralaba yang sukses pada seminar marketing bagi para pemula di Lombok. Ia lelah, tapi masih memiliki semangat untuk menularkan ilmunya. Tetapi, apa yang diperolehnya adalah kekacauan. Delia adalah sumber kekacauannya itu.

Sebenarnya, Satya tidaklah sekasar itu. Ia lebih menjurus untuk selalu bersikap tegas, serius, dan memegang tinggi komitmen. Tak heran, di usianya yang baru 30 tahun, ia sudah memiliki semuanya. Investasi, prestasi, dan prestise. Ia memiliki jaringan waralaba untuk bakso dan bebek goreng yang tersebar di seluruh negeri. Serta sebuah pabrik pengalengan ikan warisan ayahnya yang menjadi cikal bakal perusahaan kami sekarang ini.

Satya bukanlah tipe orang yang cukup sabar. Ia menginginkan semuanya berjalan dengan cepat, tepat, sesuai kesepakatan bersama. Ia tidak akan senang, jika ada sesuatu yang keluar dari komitmen itu. Lebih-lebih, jika tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal.

Dan Delia sudah melewati batas kesabarannya. Bukan sekali ini Satya sudah dibuat keki oleh wanita itu. Tiga bulan lalu, ia hampir gagal menggelar pameran bisnis UKM di Malang karena tidak mengantongi izin dari pihak pemda setempat. Padahal, Satya sudah menandatangani proposalnya tiga bulan sebelumnya. Setelah diselidiki, ternyata file itu masih tersimpan di laci meja Delia, tertumpuk berkas-berkas lain yang tidak berguna.

Kami juga pernah kena denda besar dalam perpajakan karena terlambat setor. Masalahnya, berkas itu tidak sampai ke tangan bagian akunting untuk diserahkan ke kantor pajak. Usut punya usut, Delia menghilangkannya. Ia tidak ingat di mana terakhir kali ia meletakkan berkas itu. Yang jelas, ketika kami bantu mencarinya, amplop itu tidak pernah ada. Jadi, terpaksa kami lembur untuk mengerjakan sekali lagi. Dan kena denda, tentunya.

Dan masih ada beberapa kesalahan yang membuatnya menjadi  makin parah di depan kami. Delia kerap menghilang di antara jam kerjanya. Jika melewati hari libur panjang, maka ia akan menambah dua hari ekstra berikutnya dengan alasan tidak mendapat tiket. Jika Satya marah, dengan mudah ia akan bilang pada Bu Nanik untuk memotong jatah cuti tahunannya.

Perangainya itu menjadikan hambatan besar bagi kami rekan sekerjanya. Terutama jika ada hal-hal yang membutuhkan hubungannya dengan Satya yang tidak selalu berada di tempat. Jika Delia sedang ’kumat’ begitu, maka akulah yang akan dijadikan sasaran mereka untuk menghubungkan mereka dengan Satya. Dan mengerjakan pekerjaannya yang amburadul, tentunya.

Aku tidak mengerti apa yang menyebabkan Delia mampu bertahan di sini sedangkan hampir semua rekan kerjanya sudah tidak welcome terhadap kehadirannya. Bagaimana mungkin seseorang yang dihadapkan pada tekanan psikologis seperti itu masih bisa melenggang tenang mengenakan baju kebangsaannya: blus dengan kerah turtle neck, mini skirt, dan blazer-blazer yang modis. Dengan make up yang termasuk menor untuk wanita seumurnya, Delia tampak percaya diri sekali. Seakan tidak ada masalah antara dirinya dengan kantor ini. Kalau bukan bebal, maka pastilah ia bermental baja.

Kami menunggu perawatan Delia cukup lama sampai ia sadar sekitar pukul satu siang. Ia demikian lemah saat membuka matanya yang kelihatan kosong memandang ke arah langit-langit. Delia membisu seakan-akan mulutnya telah terkunci rapat. Aku menghela napas hampir bersamaan dengan Bu Nanik.

Ia pasti sedang mengalami shock yang luar biasa.

Akhirnya aku dan Bu Nanik berbagi tugas. Aku ke rumah Delia untuk mengambil beberapa pakaian dan barang-barang pribadi yang dibutuhkannya, sementara Bu Nanik akan menunggui wanita itu sampai aku kembali.

“Apa pun yang bisa menghubungkan kita dengan keluarganya, Ran, harus kautemukan,“ itu pesan Bu Nanik padaku.

Aku mengerti, oleh sebab itu aku harus bergegas menuju apartemen tempat Delia tinggal. Memang agak mengherankan kalau sekretaris berprestasi kurang baik seperti Delia mampu tinggal pada sebuah apartemen mewah sekelas Apartemen Satelit. Di mana untuk memasuki apartemen itu saja harus  melewati barisan pengamanan seperti di hotel-hotel bintang lima. Bukannya berburuk sangka. Sebesar apa pun gaji Delia, rasanya belum cukup layak untuk tinggal di tempat seperti ini.

Bersambung

Penulis: Shanty Dwiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar