Dua orang petugas keamanan kemudian berkeliling untuk memastikan keberadaannya. Saat tiba di parkir basement, mereka menemukan mesin mobil Luisa masih menyala. Saat mereka melongok lewat kaca jendela, mereka terperanjat. Luisa terkulai di kursinya masih dengan mengenakan sabuk pengaman. Kedua petugas keamanan itu memecahkan kaca untuk mengeluarkan Luisa dari dalam mobil. Bau gas karbon monoksida begitu menyengat. Luisa sudah demikian lemas. Ia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Aku terdiam lama mendengar tragedi malang yang menimpa kedua sekretaris terbaik yang pernah dimiliki oleh kantor ini. Pak Amran juga tidak berkata apa-apa lagi sampai kami tiba di kantor.
“Capek, ya, Ran?“ Bu Nanik menoleh ke arahku saat aku masuk.
Aku tersenyum. Serius, capek sekali badanku. Kuletakkan ranselku di atas meja. Ada selembar post it warna merah yang dilekatkan di teleponku. Dari Pak Harso, aku diminta datang ke apartemen sebelum magrib. Kulirik jam mejaku, hampir setengah lima.
Aku minta izin Bu Nanik untuk pulang lebih awal. Yang menyenangkan, ternyata Satya tidak berada di tempat karena sedang mengantarkan ibunya untuk kontrol ke dokter internis. Kebetulan sekali. Aku bisa langsung kabur. Maka, aku bergegas menuju Apartemen Satelite. Aku mengira-ngira apa yang akan diberikan Pak Harso padaku kali ini. Mengingat sikapnya yang helpful itu, aku yakin ia memiliki sesuatu untuk dibagi padaku.
Dan memang, keyakinanku menjadi kenyataan. Lelaki itu sudah berada di meja resepsionis, seperti sedang menungguku. Dengan ramah ia menyapaku, menanyakan kabarku dan perkembangan Delia sebelum akhirnya ia menyerahkan sebuah amplop cokelat berukuran folio padaku. Dari alamat yang tertera jelas amplop itu ditujukan pada Delia. Dan pengirimnya adalah Heriandi, Surabaya. Mungkinkah ini paket yang dimaksud dalam SMS itu?
“Barangkali Ibu memerlukan,“ kembali kata-kata itu memberikan sugesti besar padaku karena aku yakin, ada sesuatu yang penting di dalam sini. Sekali lagi, aku berterima kasih sekali pada lelaki itu.
Dengan tidak sabar kubuka amplop itu di dalam taksi. Saat isinya kukeluarkan, aku terkesiap. Karena aku mendapatkan sepasang buku nikah yang sudah usang, serta sebuah salinan akta kelahiran atas nama Satya Harjo Prayudha. Tetapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah baik pada salinan akta kelahiran maupun pada buku nikah itu, nama kedua orang tuanya adalah Harjo Prayudha dan Marissa Subyastuti!
Tiga berkas dokumen itu jatuh ke atas pangkuanku. Tubuhku terasa dingin karena pikiranku menjadi terang sekarang. Aku telah menemukan orang yang kucari selama ini. Sosok yang bersembunyi di balik wajah Delia saat ini juga kemungkinan besar pernah menjadi Nadia. Sesungguhnya, mereka adalah orang yang sama. Marissa.
Itu pula yang mampu menjelaskan mengapa ketiga sekretaris itu memiliki hak istimewa karena mereka adalah orang yang sama. Bagaikan seekor ular yang berganti kulit apabila masanya tiba, maka ular itu akan melepas kulit yang lama dan menjadi ular baru dengan kulit baru yang lebih cerah dan indah. Tapi sejatinya, ular itu tetaplah menjadi ular yang lama dan tua. Analogi ular itu adalah Marissa adanya, dan hanya Pak Yudha saja yang mengetahui rahasianya.
Taksi itu kuminta memutar balik ke rumah sakit. Aku ingat pada foto lama Stasiun Yogya yang tergantung di ruang kerja Pak Yudha, sama dengan foto yang berada di dalam ranselku. Foto itu mengambil fokus pada nama stasiun dan jam di atasnya. Seolah-olah ada sebuah pesan yang ingin disampaikan dengan cukup membaca nama Yogyakarta dan waktu yang ditunjukkannya. Pesan yang harus diingat dengan baik oleh seseorang. Dan aku yakin, orang yang dimaksud itu pastilah Pak Yudha.
Kembali ke rumah sakit, aku menemukan kenyataan bahwa Delia atau siapa pun ia telah dipindahkan ke sal perawatan mental. Sebab, jika ia dijadikan satu area dengan orang-orang sakit pada umumnya, dikhawatirkan tingkahnya akan mengganggu ketenangan yang lain. Dan, di ruang perawatan mental, tidak boleh sembarang orang mengunjunginya. Aku mengirim SMS kepada Satya dan Bu Nanik mengenai perubahan status perawatan itu.
Aku hanya bisa memperhatikan wanita itu dari balik kaca. Kembali aku merunut kisah ke belakang dan mulai mereka-reka kejadian yang mungkin telah terjadi di masa lampau berdasarkan bukti yang kumiliki saat ini.
Bahwa Marissa, terdorong oleh rasa cintanya yang telah membutakan mata hatinya, rela melakukan apa saja demi mendapatkan Pak Yudha. Padahal, lelaki yang sempat beberapa minggu mampir di Yogya untuk sekadar iseng itu tak pernah serius menanggapinya. Tapi, tidak bagi Marissa. Ia demikian serius dengan cintanya hingga rela menyerahkan jiwa raganya bulat-bulat pada lelaki itu. Ia mengandung, melahirkan, dan menanggung malu yang amat sangat.
Kenekatannya membawanya ke Surabaya, menyusul Pak Yudha setahun kemudian. Betapa hancur rasa hatinya melihat lelaki yang dicintainya ternyata telah menikah dengan seorang perempuan berdarah ningrat, kaya raya, dan sakit-sakitan. Marissa kemudian menyusun rencana agar dirinya dan anak lelakinya bisa masuk ke dalam kehidupan Pak Yudha. Ia mulai mengancam melalui istri lelaki itu, akan membongkar semua rahasia mereka tanpa ampun.
Pak Yudha, sekalipun seorang lelaki berkategori playboy, sangat mencintai istrinya. Ia tidak mau kehilangan wanita yang mampu memahami jiwa petualangnya itu. Maka, sejak Marissa muncul dengan segala ancamannya, ia bersedia mengikuti permainan wanita itu. Ia menurut untuk mengambil bayi yang seolah-olah berada di panti asuhan itu. Kemudian ia memberinya nama Satya dan mengangkatnya sebagai anak. Di luar dugaannya, ternyata kelak Satya akan menjadi penghibur dan anak kesayangan bagi istrinya yang sakit-sakitan itu.
Setelah kehidupan anaknya terjamin, Marissa menuntut jaminan tempat tinggal yang nyaman dan pribadi sifatnya. Pak Yudha menuruti. Ia menempatkan Marissa di Apartemen Satelite miliknya sendiri.
Marissa berupaya masuk makin jauh dalam kehidupan Pak Yudha dengan menjadi sekretaris pribadinya. Dengan segala cara dan upaya ia selalu berusaha menjerat Pak Yudha agar kembali ke dalam pelukannya. Namun, makin ia berusaha, lelaki itu makin menjauhinya dengan cara menjalin cinta di sana-sini bersama beberapa wanita lain yang lebih muda darinya.
Bersambung
Penulis: Shanty Dwiana
Aku terdiam lama mendengar tragedi malang yang menimpa kedua sekretaris terbaik yang pernah dimiliki oleh kantor ini. Pak Amran juga tidak berkata apa-apa lagi sampai kami tiba di kantor.
“Capek, ya, Ran?“ Bu Nanik menoleh ke arahku saat aku masuk.
Aku tersenyum. Serius, capek sekali badanku. Kuletakkan ranselku di atas meja. Ada selembar post it warna merah yang dilekatkan di teleponku. Dari Pak Harso, aku diminta datang ke apartemen sebelum magrib. Kulirik jam mejaku, hampir setengah lima.
Aku minta izin Bu Nanik untuk pulang lebih awal. Yang menyenangkan, ternyata Satya tidak berada di tempat karena sedang mengantarkan ibunya untuk kontrol ke dokter internis. Kebetulan sekali. Aku bisa langsung kabur. Maka, aku bergegas menuju Apartemen Satelite. Aku mengira-ngira apa yang akan diberikan Pak Harso padaku kali ini. Mengingat sikapnya yang helpful itu, aku yakin ia memiliki sesuatu untuk dibagi padaku.
Dan memang, keyakinanku menjadi kenyataan. Lelaki itu sudah berada di meja resepsionis, seperti sedang menungguku. Dengan ramah ia menyapaku, menanyakan kabarku dan perkembangan Delia sebelum akhirnya ia menyerahkan sebuah amplop cokelat berukuran folio padaku. Dari alamat yang tertera jelas amplop itu ditujukan pada Delia. Dan pengirimnya adalah Heriandi, Surabaya. Mungkinkah ini paket yang dimaksud dalam SMS itu?
“Barangkali Ibu memerlukan,“ kembali kata-kata itu memberikan sugesti besar padaku karena aku yakin, ada sesuatu yang penting di dalam sini. Sekali lagi, aku berterima kasih sekali pada lelaki itu.
Dengan tidak sabar kubuka amplop itu di dalam taksi. Saat isinya kukeluarkan, aku terkesiap. Karena aku mendapatkan sepasang buku nikah yang sudah usang, serta sebuah salinan akta kelahiran atas nama Satya Harjo Prayudha. Tetapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah baik pada salinan akta kelahiran maupun pada buku nikah itu, nama kedua orang tuanya adalah Harjo Prayudha dan Marissa Subyastuti!
Tiga berkas dokumen itu jatuh ke atas pangkuanku. Tubuhku terasa dingin karena pikiranku menjadi terang sekarang. Aku telah menemukan orang yang kucari selama ini. Sosok yang bersembunyi di balik wajah Delia saat ini juga kemungkinan besar pernah menjadi Nadia. Sesungguhnya, mereka adalah orang yang sama. Marissa.
Itu pula yang mampu menjelaskan mengapa ketiga sekretaris itu memiliki hak istimewa karena mereka adalah orang yang sama. Bagaikan seekor ular yang berganti kulit apabila masanya tiba, maka ular itu akan melepas kulit yang lama dan menjadi ular baru dengan kulit baru yang lebih cerah dan indah. Tapi sejatinya, ular itu tetaplah menjadi ular yang lama dan tua. Analogi ular itu adalah Marissa adanya, dan hanya Pak Yudha saja yang mengetahui rahasianya.
Taksi itu kuminta memutar balik ke rumah sakit. Aku ingat pada foto lama Stasiun Yogya yang tergantung di ruang kerja Pak Yudha, sama dengan foto yang berada di dalam ranselku. Foto itu mengambil fokus pada nama stasiun dan jam di atasnya. Seolah-olah ada sebuah pesan yang ingin disampaikan dengan cukup membaca nama Yogyakarta dan waktu yang ditunjukkannya. Pesan yang harus diingat dengan baik oleh seseorang. Dan aku yakin, orang yang dimaksud itu pastilah Pak Yudha.
Kembali ke rumah sakit, aku menemukan kenyataan bahwa Delia atau siapa pun ia telah dipindahkan ke sal perawatan mental. Sebab, jika ia dijadikan satu area dengan orang-orang sakit pada umumnya, dikhawatirkan tingkahnya akan mengganggu ketenangan yang lain. Dan, di ruang perawatan mental, tidak boleh sembarang orang mengunjunginya. Aku mengirim SMS kepada Satya dan Bu Nanik mengenai perubahan status perawatan itu.
Aku hanya bisa memperhatikan wanita itu dari balik kaca. Kembali aku merunut kisah ke belakang dan mulai mereka-reka kejadian yang mungkin telah terjadi di masa lampau berdasarkan bukti yang kumiliki saat ini.
Bahwa Marissa, terdorong oleh rasa cintanya yang telah membutakan mata hatinya, rela melakukan apa saja demi mendapatkan Pak Yudha. Padahal, lelaki yang sempat beberapa minggu mampir di Yogya untuk sekadar iseng itu tak pernah serius menanggapinya. Tapi, tidak bagi Marissa. Ia demikian serius dengan cintanya hingga rela menyerahkan jiwa raganya bulat-bulat pada lelaki itu. Ia mengandung, melahirkan, dan menanggung malu yang amat sangat.
Kenekatannya membawanya ke Surabaya, menyusul Pak Yudha setahun kemudian. Betapa hancur rasa hatinya melihat lelaki yang dicintainya ternyata telah menikah dengan seorang perempuan berdarah ningrat, kaya raya, dan sakit-sakitan. Marissa kemudian menyusun rencana agar dirinya dan anak lelakinya bisa masuk ke dalam kehidupan Pak Yudha. Ia mulai mengancam melalui istri lelaki itu, akan membongkar semua rahasia mereka tanpa ampun.
Pak Yudha, sekalipun seorang lelaki berkategori playboy, sangat mencintai istrinya. Ia tidak mau kehilangan wanita yang mampu memahami jiwa petualangnya itu. Maka, sejak Marissa muncul dengan segala ancamannya, ia bersedia mengikuti permainan wanita itu. Ia menurut untuk mengambil bayi yang seolah-olah berada di panti asuhan itu. Kemudian ia memberinya nama Satya dan mengangkatnya sebagai anak. Di luar dugaannya, ternyata kelak Satya akan menjadi penghibur dan anak kesayangan bagi istrinya yang sakit-sakitan itu.
Setelah kehidupan anaknya terjamin, Marissa menuntut jaminan tempat tinggal yang nyaman dan pribadi sifatnya. Pak Yudha menuruti. Ia menempatkan Marissa di Apartemen Satelite miliknya sendiri.
Marissa berupaya masuk makin jauh dalam kehidupan Pak Yudha dengan menjadi sekretaris pribadinya. Dengan segala cara dan upaya ia selalu berusaha menjerat Pak Yudha agar kembali ke dalam pelukannya. Namun, makin ia berusaha, lelaki itu makin menjauhinya dengan cara menjalin cinta di sana-sini bersama beberapa wanita lain yang lebih muda darinya.
Bersambung
Penulis: Shanty Dwiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar