Selasa, 03 Januari 2012

Marissa (Bagian 7)

Aku terenyak di hadapan dokter yang menjelaskan panjang lebar mengenai penyakit Delia. Seandainya tidak ada bunyi telepon masuk, mungkin ceramah dokter itu masih terus berlanjut dan membuatku makin bingung.

Dari Ardi. Dokter Aulia menyilakan aku untuk menerima telepon itu. “Ya, Ar? Sudah baca e-mail-ku?”
Kudengar tawa Ardi jauh di sana.

“Jam dua malam? Kau sama gilanya dengan kakakmu ya!”

“Sudahlah... ada info yang bisa kudapat?“

Ia menghela napas dalam-dalam.

“Kebetulan aku lagi di Yogya, sudah cari info sejak pagi tadi. Buruk, Ran.“ Ia terdiam sejenak, membuatku menjadi mulas oleh rasa tegang.

“Akademi Sekretaris dan Manajemen Dharma Jaya Yogya memang pernah ada, tapi itu jadul banget. Menurut cerita, sebenarnya sekolahnya cukup baik, tetapi ada konflik di yayasannya sehingga akhirnya ditutup pada awal ’80-an. Mereka hanya sempat meluluskan satu angkatan saja.“

Satu angkatan? Ini mengejutkan, karena pada ijazah Nadia dan Delia dinyatakan lulus namun berdasarkan tahun kelulusan yang berbeda.

“Kau yakin?“

“Seribu persen. Aku mendapat info ini dari salah seorang agen besar kita, Bu Maryam. Beliau asli sini dan tahu seluk-beluk sekolah itu karena menjadi salah satu almamaternya.“

Perutku terasa kaku.  Ada yang salah dengan ketiga sekretaris itu.

“Ar, aku akan kirim beberapa file padamu siang ini dan tolong dikonfirmasikan ke Bu Maryam segera. Kuharap malam ini sudah ada report-nya,“

“Tapi, aku harus balik ke Semarang siang ini.“

“Ar, please... jangan khawatir, nanti aku yang bilang ke Satya.“

Ardi tertawa, “Anything, Bos. Anything!“

Kututup ponselku dengan perasaan mengambang. Aku merasa tidak yakin dengan apa yang sedang kami hadapi sekarang. Dokter Aulia memandangiku. Sepertinya ia sedang memikirkan apa yang barusan aku bicarakan dengan Ardi. Baru saja ia akan membuka mulutnya, tiba-tiba telepon ruangan berdering. Mengabarkan bahwa Delia mulai berulah lagi. Kami bergegas kembali ke ruangan di mana Delia dirawat.

Saat itu, aku melihat sendiri bagaimana Delia berteriak-teriak sembari mencakar-cakar wajahnya. Aku menjadi ngeri bagaimana kukunya yang panjang itu membuat bilur-bilur merah di wajahnya. Dua orang suster yang memeganginya tampak kewalahan. Dokter Aulia memintanya menenangkan diri namun sepertinya sia-sia saja. Aku tidak heran saat mereka memberikan obat penenang padanya agar bisa diam.

Delia terkapar di atas kasurnya dengan lemah, mataya memandang liar ke sana sini. Keringat bercampur dengan darah dari bilur cakaran pada wajahnya menimbulkan kesan menyeramkan. Ia sama sekali tidak kelihatan kesakitan, malah seperti sedang kebingungan. Melupakan bagaimana menyebalkan sikapnya dulu, aku menjadi kasihan melihatnya seperti itu.

Kusentuh bahunya. Ya, ampun, aku baru sadar, jariku menyentuh tulang. Delia begitu kurus dari balik baju rumah sakitnya yang kedodoran. Rambutnya berantakan. Tanpa make up tebal, dia benar-benar seperti orang aneh. Kutelan ludahku yang terasa pahit.

“Del…,” kupanggil namanya.

Delia memandangiku seperti sedang mencari sesuatu pada diriku. Aku sampai merinding karena ngeri dipandangi serupa itu. Aku berharap ia memberikan satu dua patah kata sebagai respons. Tetapi, aku harus kecewa. Delia tidak menghiraukanku. Ia tidak mengenaliku.

“Del… ini aku, Rania. Ingat? Katakan sesuatu....“

Delia menggeleng lemah.

“Cermin… mana cermin… aku ingin pulang. Mana cermin… cermin… aku mau pulang….” Itu saja yang diucapkannya terus-menerus sampai suaranya kemudian makin lama  makin lemah. Kepalanya terkulai ke kiri. Ia tidur.

Aku menghela napas dalam-dalam. Dokter Aulia memeriksa denyut nadi Delia, lalu dadanya. Kemudian ia mengatakan sesuatu pada perawat yang mencatat dengan cepat di sebelahnya. Dokter Aulia menoleh padaku.

“Ayo, kutunjukkan sesuatu yang menarik padamu!“ Ia memintaku untuk mendekat ke arahnya. Perawat tadi menggeserkan tubuhnya, memberikanku tempat di sisi Dokter Aulia yang kini mengangkat dagu Delia ke atas. Kami bisa melihat lehernya sekarang.

“Perhatikan kulitnya ini. Kisut, berkerut, dan kendur. Berbeda dari kulit wajahnya yang masih cukup halus.“

Aku tidak pernah memperhatikannya karena Delia selalu mengenakan blus model turtle neck atau scarf sutra yang menutupi lehernya.

Dokter Aulia kemudian memiringkan wajah Delia ke sisi kiri, menyibakkan rambutnya ke atas sehingga kami bisa melihat telinganya. Ada bekas jahitan di belakang telinganya melingkar rapi sepanjang bagian dalam belakang telinga. Dokter Aulia memiringkan sisi kepala yang lain dan menunjukkan bekas jahitan yang sama di telinga itu. Ia kemudian meraba pipi Delia, menekan-nekannya sedikit, lalu menyisir garis rahang dan tulang hidungnya.

“Implan silikon.“ Itu adalah komentar yang sangat mengejutkanku.

Aku mencoba mencerna dari apa yang kusaksikan sekarang. Itulah mengapa pipinya jadi seperti menggantung. Jika Delia sedikit berisi, maka pipinya akan terangkat dan kelihatan bagus. Oh, pantas saja.

Dokter Aulia mengajakku keluar dari ruang perawatan Delia.

“Saya hanya ingin memberitahumu satu hal, Rania.“ Dokter itu menatapku.

“Ada indikasi Delia sudah menjalani operasi plastik, sepertinya lebih dari sekali. Jadi, kau mungkin akan kesulitan untuk mencari wajah aslinya seperti apa.”

Aku terenyak. Aku tahu ini buruk, tapi tidak pernah membayangkan separah ini. Aku terhuyung ke samping dengan pandangan berkunang-kunang. Dokter itu menangkap tanganku dengan cepat.

“Kau baik-baik saja?“ tanyanya.

Setelah semuanya menjadi terang kembali, aku mengangguk sambil melepaskan cekalannya. Aku hanya belum makan, sejak semalam aku begadang dan sampai sekarang belum beristirahat sama sekali. Ditambah dengan kejutan demi kejutan yang membuat semangatku makin merosot saja.

“Saya baik-baik saja, Dok. Terima kasih. Maaf, saya harus bergegas untuk menyelesaikan banyak masalah.“ Kedengarannya sombong sekali, tapi aku memang harus segera pergi dari tempat ini.

Bersambung

Penulis: Shanty Dwiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar