Selasa, 03 Januari 2012

Marissa (Bagian 12)

Marissa terpukul oleh keadaan itu. Ia bagaikan seekor siput dalam dunia hewan berkaki dan bersayap yang dapat bergerak dengan lepas dan bebas. Ia begitu lambat, tak bertenaga dan tidak bisa diandalkan. Dalam beberapa hal ia menjadi begitu menyebalkan dan dicap sebagai trouble maker. Tetapi, ia bertahan untuk tetap berada dalam posisi itu sampai Heriandi dapat membawakan surat-surat yang akan menyelamatkan hidupnya dari kehancuran.

Malang baginya, tekanan yang diberikan Satya dengan gaya kepemimpinannya itu membuatnya terpuruk dalam waktu singkat. Ia mulai kehabisan napas, tidak  memiliki ruang gerak, miskin ide dan kehilangan harga diri di mata anaknya yang tidak pernah mengenalinya itu. Ketegasan sikap anak muda itu dengan memberikan satu demi satu surat peringatan membuatnya tertekan. Begitu tertekannya, sampai ia sama sekali tidak bisa berpikir dengan jernih. Dan, suatu ketika malah menjadi blank sama sekali.

Marissa  linglung. Ia mendadak kehilangan kemampuan mengenali apa pun, siapa pun, dan apa yang sedang dihadapinya. Sesaat setelah ia bisa kembali sadar, ia menjadi khawatir akan kondisinya itu. Segera ia mencari dokter untuk membantu masalah yang dihadapinya. Ia kemudian menjalani sejumlah tes untuk memastikan kondisi tubuhnya. Beberapa waktu kemudian ia menerima vonis yang begitu menakutkan.

Dokter spesialis saraf itu menjelaskan kondisi kepalanya. Beberapa hal tentang bagian-bagian otaknya yang mulai mengecil, juga simpul-simpul saraf yang menyusut. Semuanya berujung pada satu hal: Alzheimer dementia alias pikun. Dokter itu merasa tertarik padanya karena Marissa yang menjadi Delia mencatatkan usianya 33 tahun.

Dokter itu menyarankan agar dirinya rajin melakukan kontrol untuk memulihkan kesehatannya dengan segera. Tetapi, Marissa atau Delia tidak pernah kembali kepada dokter itu. Ia mengendalikan penyakitnya dengan terus minum obat yang dibelinya melalui pasar gelap. Ia mencemaskan keadaan akan  makin memburuk, jika  makin banyak orang tahu akan penyakitnya.
Dan, apa yang ditakutkannya itu terjadi. Siapa pun tidak akan pernah melupakan kejadian siang itu saat Satya menjatuhkan vonis atas Delia.

Kuusap wajahku dan mendadak tubuhku lemas menyadari kisah yang kurangkai tadi. Saat kuluruskan punggungku, kulihat Satya berjalan cepat ke arahku. Aku harus mengatakan semua teori ini padanya.

“Kau masih di sini?“ tanyanya, biasa saja.

Aku hanya mengangguk. Satya kemudian melongok ke dalam melalui jendela yang terbuka. Ia tidak berkata apa-apa selain duduk di sisiku. menyebarkan aroma Bvlgari yang menjadi favoritnya. Sesaat kemudian aku menanyakan tanggal lahirnya. Dengan separuh heran ia menjawabnya: 5 Juni.

“Aku akan menunjukkan keajaiban tanggal 5 Juni padamu.“

Satu per satu berkas ijazah palsu itu kuberikan kepadanya. Foto lama Stasiun Yogya yang sama tergantung di dinding ruang kerja ayahnya dulu juga membuatnya kelihatan terkejut. Belum lagi ketika sepasang buku nikah kubuka untuknya, dan terakhir yang membuatnya terdiam lama: salinan akta kelahiran atas namanya.

Keheningan menyekap kami dari segala arah beberapa  saat lamanya. Aku bersandar lelah, benar-benar lelah setelah beberapa hari bekerja keras untuk mencari keluarga Delia. Ya, aku memang berhasil menemukannya. Ternyata, ia begitu dekat denganku.

“Jadi, kaupikir...  mereka ini...,“ suara Satya menggantung, kedengarannya tidak yakin dan lemah untuk seorang yang keras dan otoriter seperti dirinya. Aku mengangguk tegas. Satya tampak bimbang.

“Sama. Satu orang yang sama untuk tiga masa yang berbeda.“

“Tapi, bagaimana mungkin ini terjadi. Bagaimana ia bisa begitu kejam?“ ia memandangku tak mengerti.

“Untuk seorang wanita yang sudah menyerahkan segalanya dan berjuang habis-habisan untuk mendapatkan cintanya.“

Kemudian aku mengulang cerita penemuanku di apartemen Delia. Bagaimana aku mencari data pada malam itu. Lalu tentang pembicaraanku dengan Bu Maryam. Aku juga menghubungkan dengan kisah tragis dua sekretaris yang malang itu. Kupertegas dengan analisis Dokter Aulia dan bukti billing statement yang menyatakan adanya tindakan atas wajah wanita itu. Dan SMS-SMS itu. Satya menarik napasnya dalam-dalam.

“Jika semua ini benar, apa yang diinginkannya dariku?“ tanyanya, ragu.

“Rasa aman,“ jawabku, santai.

Ya, hanya itu yang diharapkan Delia atau Nadia atau Marissa. Rasa aman untuk menjamin hari tuanya. Ia sudah gagal memperoleh kebahagiaan dalam merebut kembali Pak Yudha. Sekalipun segala cara sudah dilakukannya, ia tidak dapat meraih cinta yang dulu pernah membahagiakannya. Harga sebuah cinta sejati tidak dapat dinilai dari bentuk dan keindahan fisik yang diperjuangkannya habis-habisan. Hanya ketulusan yang dapat menjaga sebuah cinta menjadi abadi. Seperti yang dilakukan Pak Yudha terhadap istrinya yang rapuh.

Satya termenung dalam waktu yang lama. Mungkin ia sedang berpikir keras mencerna apa yang barusan kusampaikan. Berkas-berkas itu aku ambil kembali, lalu kumasukkan ke dalam ransel. Seorang perawat datang kepada kami dan mengatakan bahwa Delia kembali gelisah. Kami bergegas masuk untuk melihat keadaannya.

Wanita itu terbaring dengan kedua tangannya terikat pada tepi ranjang. Mungkin ditujukan agar ia tidak mencakari wajahnya lagi seperti sebelumnya. Ia memperhatikan kami tanpa ekspresi apa pun saat melihat kami masuk. Padahal, aku berharap ia akan berteriak histeris melihat kedatangan Satya.

Kengerian menapaki diriku melihat bilur luka yang  makin merah dan bengkak. Mungkin, karena ia menderita diabetes, membuat lukanya tak kunjung kering. Wajah Delia makin lama membulat seperti bola yang mau meletus. Sekalipun naif, aku khawatir kalau-kalau wajah Delia akan robek.

Robek? Apakah itu yang diinginkan Delia? Merobek wajahnya saat ini untuk memperoleh wajah lamanya kembali? Dengan keterbatasan kemampuan otaknya dalam menggali memori yang perlahan-lahan menghilang dari dalam benaknya, apakah ia ingin sekali saja melihat dirinya yang pernah dikenalinya dulu? Bukan sebagai siapa-siapa, tapi sebagai seorang Marissa saja.

Satya bergeming, wajahnya datar tanpa ekspresi dan kelihatan menjaga jarak. Sekarang aku mengerti, aku tahu dari mana ia memperoleh sikap yang demikian tidak berperasaan.

Delia  makin gelisah, ia meronta-ronta di atas ranjangnya sambil terus meminta cermin. Satya membisu. Kuhela napasku dalam-dalam. Aku memberanikan diri untuk menyapanya agar teoriku sejauh ini memberikan bukti yang nyata.

“Apa kabarmu, Marissa?“ sapaku, hati-hati.

Delia tersentak. Kelihatan kalau ia terkejut mendengar panggilanku. Sesaat kemudian ia menoleh perlahan ke arahku. Tanpa sadar aku mundur selangkah. Perutku mulas melihat caranya memandangku dengan aneh. Jantungku berdegup kencang. Bibirnya yang kering bergerak dengan sedikit gemetar.

“Kau menemukanku,“ suaranya terbata, seperti sedang mengeja. Terdengar asing di telingaku, seperti bukan suara manusia biasa. Bola matanya berputar dengan sorot yang membuatku meradang oleh rasa takut yang mendadak datang.

 Aku mengerti mengapa namaku tercantum dalam ponselnya. Itu bukanlah suatu kebetulan, tetapi memang telah direncanakannya! Aku adalah orang yang akan menggantikan kedudukannya sebagai sekretaris yang diharapkan Satya. Aku adalah TO berharga Rp15 juta itu,  yang harus dieliminasi seperti  Tere dan Luisa!

Aku terjajar ke belakang. Kakiku goyah oleh rasa ngeri. Wanita itu mulai tersenyum. Makin lama senyum itu makin melebar sehingga giginya kelihatan dan wajahnya  makin mengerikan. Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh dengan suara yang membuat bulu kuduk meremang.

Satya menarik tanganku untuk segera berlalu dari situasi yang mencekam itu. Wajahnya pucat, bibirnya terkatup rapat. Aku terseok-seok mengikutinya dari belakang. Tangannya terasa dingin dan gemetar dalam genggamanku.

Tamat

Penulis: Shanty Dwiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar