Kami tiba di depan rumahku pada pukul 21.30. Mbok Nah, pembantuku, segera berdiri dari duduknya di teras. Ia sedang menungguku. Hanya Mbok Nah yang tinggal bersamaku sekarang setelah Mama tiada. Sedang kedua abangku hidup dengan keluarganya masing-masing di Jakarta dan Makassar.
Satya menyapa Mbok Nah dengan ramah saat kami masuk membawakan pekerjaan rumahku ke dalam. Ia memang sudah akrab dengan wanita tua yang sudah seperti keluargaku sendiri sejak belasan tahun yang lalu. Mbok Nah rupanya sudah membuatkan jamu kunir asem untuknya. Menurut ibuku dulu, Satya kecil sempat sakit-sakitan. Ia bisa menjadi lebih baik setelah diberi jamu kunir asem buatan Mbok Nah.
“Sebaiknya kau tinggal dengan Mama saja, Ran. Jangan sendirian di sini,“ Satya memandang berkeliling memperhatikan betapa sepinya rumah kami.
Aku tidak membalas komentarnya itu. Mbok Nah sudah datang membawakan sebotol kunir asem di dalam kantong kresek. Masih kelihatan dingin karena baru keluar dari kulkas. Satya tersenyum kecil. Kelihatan bagus kalau dia sedang tersenyum, sekalipun sedikit aneh. Lebih baik begitu daripada tegang, dan kelihatan harus meledak saja kepada setiap orang.
Aku mulai mengisi ulang baterai ponsel Delia yang kudapat dari tasnya. Sementara menunggu, aku mulai menyalakan laptop-ku sendiri untuk mengecek e-mail. Karena tidak ada yang penting, aku kemudian mengeluarkan kertas-kertas yang dijejalkan begitu saja ke dalam tas.
Kurapikan dan kususun kertas-kertas yang berjumlah sebelas lembar. Menarik sekali karena semua kertas itu sudah berumur lama. Aku segera memilahnya. Tiga lembar kuasumsikan berasal dari kelompok institusi, dua lembar dari kelompok medis, tiga lembar lainnya adalah billing statement kartu kredit, dua lembar foto, dan empat lembar tanda terima dari Bpk. Heriandi masing-masing antara Rp5 juta - Rp10 juta.
Dua lembar dari kelompok medis adalah hasil sebuah laboratorium terkenal di Surabaya, dan yang lainnya adalah fotokopi sebuah resep dari seorang dokter ahli saraf di kawasan Gubeng, Surabaya. Aku bisa membaca tulisan Exelon di situ, sama dengan bekas blister obat yang diberikan Pak Harso. Resep itu dibuat beberapa bulan yang lalu.
Aku beralih pada tiga lembar berkas lain yang sudah kusam kekuningan. Semuanya adalah salinan ijazah dari Akademi Sekretaris dan Manajemen Dharma Jaya Yogyakarta dalam kurung ASMADJY. Menilik dari tanggal kelulusannya, sungguh luar biasa. Angkatan delapan puluhan! Yang lebih hebat lagi, dua dari tiga nama yang tercetak pada fotokopi salinan ijazah itu cukup kukenal, setidaknya dari nama depan mereka. Marissa Subyastuti dan Nadia Rahmadhanti. Nama-nama mantan sekretaris Pak Yudha dulu.
Mereka semua disebutkan oleh Pak Harso tadi siang. Dan mereka berasal dari sekolah yang sama. Betapa menakjubkannya, bahwa keduanya bisa berada di tempat yang sama dalam kurun waktu berbeda.
Rasa penasaran membuatku menjelajah di Google, menulis nama akademi yang dimaksud untuk mencari tahu. Sambil menunggu, aku memperhatikan dua lembar foto. Yang satu adalah foto lama dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku mendadak ingat, foto yang sama juga tergantung di ruang kerja Pak Yudha. Sungguh sebuah kebetulan berikutnya.
Sedang yang lainnya adalah juga sebuah foto lama. Foto sekelompok wanita yang tengah berpose pada sebuah lesehan makan di kaki lima. Kuperkirakan tempat itu berada di Yogya juga. Pada spanduk yang menempel di belakang tempat makan kaki lima itu tertulis: ’Goedeg Toegoe Jogja’.
Tetapi, buat apa Delia mengumpulkan foto-foto dan salinan ijazah lama? Kuangkat kepalaku karena leherku menjadi demikian kaku. Kembali ke monitor dan aku kecewa. Pencarian atas nama akademi itu tidak berhasil. Kuketik nama ASMADJY untuk dijelajah. Kembali gagal. Aku makin penasaran. Apakah sekolah itu pernah ada atau tidak, ya? Kuketik Dharma Jaya. Yang keluar ternyata nama kelenteng, merek bakso, dan nama sebuah yayasan sosial yang setelah kutelusuri ternyata milik perkumpulan etnis keturunan Cina.
Kok, jadi butek begini, ya? Kalau aku gagal mendapatkan sebuah petunjuk, maka Delia akan mengacau hidupku lebih lama lagi. Kuhirup teh manisku yang sudah dingin. Mbok Nah kedengaran mendengkur halus dari atas dipan. Siaran teve masih menyala dan kubiarkan saja. Jika kumatikan, maka ia akan segera terjaga. Aku sudah tahu kebiasaannya itu.
Satu-satunya harapanku adalah pada ponselnya. Dari jenis smartphone yang cukup andal dan yang pasti mahal harganya. Beruntung pin pembukanya standar saja, 1234, jadi aku bisa masuk ke dalamnya. Yang lebih mengherankan, aku hanya menemukan lima nama dalam phonebook-nya. Untuk seorang sekretaris yang seharusnya memiliki jaringan luas, Delia benar-benar payah. Kelima nama itu adalah nomor Pak Yudha, Bu Yudha, Satya, Bu Nanik, dan aku, Rania. Aneh juga, seorang staf biasa seperti aku bisa masuk ke dalam lima besar orang yang patut dicatatnya.
Lelah menjelajah dan menerka-nerka menyadarkan aku pada waktu yang sudah sangat larut, pukul 01.45. Akhirnya kuputuskan untuk menulis e-mail pada Ardi, sales manager di wilayah Yogya dan Semarang, untuk melacak keberadaan sekolah itu sebelum aku tidur. Aku berharap, Ardi bisa memberikan jawaban dengan segera.
Bersambung
Penulis: Shanty Dwiana
Satya menyapa Mbok Nah dengan ramah saat kami masuk membawakan pekerjaan rumahku ke dalam. Ia memang sudah akrab dengan wanita tua yang sudah seperti keluargaku sendiri sejak belasan tahun yang lalu. Mbok Nah rupanya sudah membuatkan jamu kunir asem untuknya. Menurut ibuku dulu, Satya kecil sempat sakit-sakitan. Ia bisa menjadi lebih baik setelah diberi jamu kunir asem buatan Mbok Nah.
“Sebaiknya kau tinggal dengan Mama saja, Ran. Jangan sendirian di sini,“ Satya memandang berkeliling memperhatikan betapa sepinya rumah kami.
Aku tidak membalas komentarnya itu. Mbok Nah sudah datang membawakan sebotol kunir asem di dalam kantong kresek. Masih kelihatan dingin karena baru keluar dari kulkas. Satya tersenyum kecil. Kelihatan bagus kalau dia sedang tersenyum, sekalipun sedikit aneh. Lebih baik begitu daripada tegang, dan kelihatan harus meledak saja kepada setiap orang.
Aku mulai mengisi ulang baterai ponsel Delia yang kudapat dari tasnya. Sementara menunggu, aku mulai menyalakan laptop-ku sendiri untuk mengecek e-mail. Karena tidak ada yang penting, aku kemudian mengeluarkan kertas-kertas yang dijejalkan begitu saja ke dalam tas.
Kurapikan dan kususun kertas-kertas yang berjumlah sebelas lembar. Menarik sekali karena semua kertas itu sudah berumur lama. Aku segera memilahnya. Tiga lembar kuasumsikan berasal dari kelompok institusi, dua lembar dari kelompok medis, tiga lembar lainnya adalah billing statement kartu kredit, dua lembar foto, dan empat lembar tanda terima dari Bpk. Heriandi masing-masing antara Rp5 juta - Rp10 juta.
Dua lembar dari kelompok medis adalah hasil sebuah laboratorium terkenal di Surabaya, dan yang lainnya adalah fotokopi sebuah resep dari seorang dokter ahli saraf di kawasan Gubeng, Surabaya. Aku bisa membaca tulisan Exelon di situ, sama dengan bekas blister obat yang diberikan Pak Harso. Resep itu dibuat beberapa bulan yang lalu.
Aku beralih pada tiga lembar berkas lain yang sudah kusam kekuningan. Semuanya adalah salinan ijazah dari Akademi Sekretaris dan Manajemen Dharma Jaya Yogyakarta dalam kurung ASMADJY. Menilik dari tanggal kelulusannya, sungguh luar biasa. Angkatan delapan puluhan! Yang lebih hebat lagi, dua dari tiga nama yang tercetak pada fotokopi salinan ijazah itu cukup kukenal, setidaknya dari nama depan mereka. Marissa Subyastuti dan Nadia Rahmadhanti. Nama-nama mantan sekretaris Pak Yudha dulu.
Mereka semua disebutkan oleh Pak Harso tadi siang. Dan mereka berasal dari sekolah yang sama. Betapa menakjubkannya, bahwa keduanya bisa berada di tempat yang sama dalam kurun waktu berbeda.
Rasa penasaran membuatku menjelajah di Google, menulis nama akademi yang dimaksud untuk mencari tahu. Sambil menunggu, aku memperhatikan dua lembar foto. Yang satu adalah foto lama dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku mendadak ingat, foto yang sama juga tergantung di ruang kerja Pak Yudha. Sungguh sebuah kebetulan berikutnya.
Sedang yang lainnya adalah juga sebuah foto lama. Foto sekelompok wanita yang tengah berpose pada sebuah lesehan makan di kaki lima. Kuperkirakan tempat itu berada di Yogya juga. Pada spanduk yang menempel di belakang tempat makan kaki lima itu tertulis: ’Goedeg Toegoe Jogja’.
Tetapi, buat apa Delia mengumpulkan foto-foto dan salinan ijazah lama? Kuangkat kepalaku karena leherku menjadi demikian kaku. Kembali ke monitor dan aku kecewa. Pencarian atas nama akademi itu tidak berhasil. Kuketik nama ASMADJY untuk dijelajah. Kembali gagal. Aku makin penasaran. Apakah sekolah itu pernah ada atau tidak, ya? Kuketik Dharma Jaya. Yang keluar ternyata nama kelenteng, merek bakso, dan nama sebuah yayasan sosial yang setelah kutelusuri ternyata milik perkumpulan etnis keturunan Cina.
Kok, jadi butek begini, ya? Kalau aku gagal mendapatkan sebuah petunjuk, maka Delia akan mengacau hidupku lebih lama lagi. Kuhirup teh manisku yang sudah dingin. Mbok Nah kedengaran mendengkur halus dari atas dipan. Siaran teve masih menyala dan kubiarkan saja. Jika kumatikan, maka ia akan segera terjaga. Aku sudah tahu kebiasaannya itu.
Satu-satunya harapanku adalah pada ponselnya. Dari jenis smartphone yang cukup andal dan yang pasti mahal harganya. Beruntung pin pembukanya standar saja, 1234, jadi aku bisa masuk ke dalamnya. Yang lebih mengherankan, aku hanya menemukan lima nama dalam phonebook-nya. Untuk seorang sekretaris yang seharusnya memiliki jaringan luas, Delia benar-benar payah. Kelima nama itu adalah nomor Pak Yudha, Bu Yudha, Satya, Bu Nanik, dan aku, Rania. Aneh juga, seorang staf biasa seperti aku bisa masuk ke dalam lima besar orang yang patut dicatatnya.
Lelah menjelajah dan menerka-nerka menyadarkan aku pada waktu yang sudah sangat larut, pukul 01.45. Akhirnya kuputuskan untuk menulis e-mail pada Ardi, sales manager di wilayah Yogya dan Semarang, untuk melacak keberadaan sekolah itu sebelum aku tidur. Aku berharap, Ardi bisa memberikan jawaban dengan segera.
Bersambung
Penulis: Shanty Dwiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar