Aku meminta Pak Amran mengantarku pulang ke rumah. Aku harus segera melakukan scan tiga salinan ijazah dan foto lama yang disimpan Delia di bawah tasnya, dan mengirimkan kepada Ardi. Sambil menunggu proses scanning, aku menyempatkan makan risoles ayam dan minum teh manis. Pak Amran duduk di teras ditemani Mbok Nah sambil minum kopi.
Dalam hati aku sangat penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga Pak Yudha bisa meloloskan sekretaris dengan ijazah fiktif seperti mereka? Apa yang membuat mereka demikian istimewa hingga memperoleh perlakuan khusus? Tinggal di apartemen mewah, gaji besar, kerja asal-asalan dan mengorbankan rekan-rekannya selama belasan tahun! Hebat sekali!
Aku baru akan menelepon ketika Ardi menghubungiku. E-mail-ku sudah sampai. Alhamdulillah, aku bersyukur sekali dengan kemajuan teknologi wireles yang dapat menghubungkan orang di mana saja dan kapan saja tanpa terikat kabel. Ardi berpesan agar aku jangan pergi dulu dari rumah karena ia berada dalam perjalanan menuju rumah Bu Maryam. Aku melihat jam, sudah hampir pukul satu. Pas waktunya makan siang.
Sekitar lima belas menit kemudian, ada SMS Ardi yang memintaku menghubungi sebuah nomor telepon rumah di Yogya. Kubawa laptop, berkas-berkas Delia dan catatanku ke ruang tengah. Adrenalinku mulai naik. Ini pasti akan sangat menarik. Kutekan nomor sesuai yang di-SMS Ardi padaku. Ia langsung menyambar telepon begitu nada kedua masuk.
“Ran, ini Bu Maryam, kau bicara sendiri padanya sementara aku akan membuka file-nya.”
“Thanks sekali, Ar.”
Perutku terasa kaku sekarang menunggu perpindahan dari Ardi ke Bu Maryam. Sesaat kemudian kudengar sebuah suara lembut.
“Assalamu’alaikum, Bu Maryam? Saya Rania...,“ aku memperkenalkan diri. Sepatah dua patah kata basa-basi mengawali percakapan yang segera mengalir di antara kami. Beberapa saat kemudian, aku merasa dipaku pada sofa yang kududuki setelah mendengar informasi mengangetkan yang diberikan oleh Bu Maryam.
Ia mengatakan seperti yang diceritakan Ardi beberapa jam sebelumnya. Saat aku minta ia menunjukkan nama-nama dalam foto yang kukirimkan ke Ardi lewat e-mail, dengan lancar ia menyebutkan nama kesepuluh gadis yang berpose di sana. Aku mengikutinya dengan memberi tanda pada foto yang kupegang dengan pensil. Nama-nama yang kukenal: Marissa Subyastuti dan Nadia Rahmadhanti berada di sana sebagai dua orang gadis yang sedang duduk sambil merangkul satu sama lain.
“Delia Sumarno itu nama aslinya Adelia Prabawati, kemudian menikah dengan pilot bernama Teguh Sumarno. Yang pakai kacamata itu orangnya, Mbak.”
Keterangan itu membuatku meradang. Gadis berkacamata yang tampak lugu dan sederhana sedang duduk paling kiri pada foto di warung lesehan gudeg itu. Aku jadi makin puyeng.
“Apakah Ibu memiliki alamat Adelia saat ini?”
“Sayang sekali tidak, Mbak. Adelia sudah meninggal 20 tahun yang lalu karena kanker dan dimakamkan di Temanggung.” Jawabannya membuatku terbelalak.
“Kalau Nadia?” kejarku kemudian.
“Nadia malah sudah meninggal lebih dulu, setahun setelah kami lulus. Beliau dan bayi yang gagal dilahirkannya.”
Makin lama makin aneh, tapi terus terang menjadi menarik sekali.
“Bagaimana dengan Marissa, Bu?“
Bu Maryam tertawa, kedengarannya tidak enak di telinga.
“Ia agak aneh orangnya. Pendiam, tapi sering gonta-ganti pacar. Waktu Nadia wafat, ia datang sambil membawa bayi laki-laki yang baru berumur 40 hari. Kami sempat menegurnya karena tidak baik membawa bayi ke tempat orang mati. Kabarnya, ia menyusul kekasihnya ke Surabaya. Setelah itu, saya tidak tahu bagaimana kabarnya.“
Aku merasakan peningkatan adrenalin dalam tubuhku.
“Maaf, Bu. Apakah Ibu mengetahui seperti apa kekasih Marissa itu?”
“Wah, saya tidak tahu, Mbak. Kabarnya lelaki itu sudah berkeluarga.”
“Oh, begitu. Maaf, Bu, barangkali Ibu masih ingat, apakah Marissa, Nadia dan Adelia lahir pada tanggal 5 Juni?”
“Saya nggak yakin benar, tapi rasanya mereka tidak lahir di tanggal yang sama. Karena, kalau ada yang ulang tahun bersamaan, pasti traktirannya besar-besaran. Nah, pas di gudeg itu kami sedang merayakan ulang tahunnya Marissa.”
Cukup sudah bagiku keterangannya dan aku sangat berterima kasih pada Bu Maryam. Suara Ardi kembali berada di ujung telepon.
“Bagaimana, Ran? Kamu sudah puas kan sekarang?”
“Terima kasih banyak atas bantuanmu, Ar. Sungguh-sungguh membantu.“
Ardi tertawa di ujung sana.
“Kau utang padaku, bebek goreng kayu tangan dan rawon setan.”
“Anything, Bos. Anything,” kukutip kata-katanya dulu.
Bersambung
Penulis: Shanty Dwiana
Dalam hati aku sangat penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga Pak Yudha bisa meloloskan sekretaris dengan ijazah fiktif seperti mereka? Apa yang membuat mereka demikian istimewa hingga memperoleh perlakuan khusus? Tinggal di apartemen mewah, gaji besar, kerja asal-asalan dan mengorbankan rekan-rekannya selama belasan tahun! Hebat sekali!
Aku baru akan menelepon ketika Ardi menghubungiku. E-mail-ku sudah sampai. Alhamdulillah, aku bersyukur sekali dengan kemajuan teknologi wireles yang dapat menghubungkan orang di mana saja dan kapan saja tanpa terikat kabel. Ardi berpesan agar aku jangan pergi dulu dari rumah karena ia berada dalam perjalanan menuju rumah Bu Maryam. Aku melihat jam, sudah hampir pukul satu. Pas waktunya makan siang.
Sekitar lima belas menit kemudian, ada SMS Ardi yang memintaku menghubungi sebuah nomor telepon rumah di Yogya. Kubawa laptop, berkas-berkas Delia dan catatanku ke ruang tengah. Adrenalinku mulai naik. Ini pasti akan sangat menarik. Kutekan nomor sesuai yang di-SMS Ardi padaku. Ia langsung menyambar telepon begitu nada kedua masuk.
“Ran, ini Bu Maryam, kau bicara sendiri padanya sementara aku akan membuka file-nya.”
“Thanks sekali, Ar.”
Perutku terasa kaku sekarang menunggu perpindahan dari Ardi ke Bu Maryam. Sesaat kemudian kudengar sebuah suara lembut.
“Assalamu’alaikum, Bu Maryam? Saya Rania...,“ aku memperkenalkan diri. Sepatah dua patah kata basa-basi mengawali percakapan yang segera mengalir di antara kami. Beberapa saat kemudian, aku merasa dipaku pada sofa yang kududuki setelah mendengar informasi mengangetkan yang diberikan oleh Bu Maryam.
Ia mengatakan seperti yang diceritakan Ardi beberapa jam sebelumnya. Saat aku minta ia menunjukkan nama-nama dalam foto yang kukirimkan ke Ardi lewat e-mail, dengan lancar ia menyebutkan nama kesepuluh gadis yang berpose di sana. Aku mengikutinya dengan memberi tanda pada foto yang kupegang dengan pensil. Nama-nama yang kukenal: Marissa Subyastuti dan Nadia Rahmadhanti berada di sana sebagai dua orang gadis yang sedang duduk sambil merangkul satu sama lain.
“Delia Sumarno itu nama aslinya Adelia Prabawati, kemudian menikah dengan pilot bernama Teguh Sumarno. Yang pakai kacamata itu orangnya, Mbak.”
Keterangan itu membuatku meradang. Gadis berkacamata yang tampak lugu dan sederhana sedang duduk paling kiri pada foto di warung lesehan gudeg itu. Aku jadi makin puyeng.
“Apakah Ibu memiliki alamat Adelia saat ini?”
“Sayang sekali tidak, Mbak. Adelia sudah meninggal 20 tahun yang lalu karena kanker dan dimakamkan di Temanggung.” Jawabannya membuatku terbelalak.
“Kalau Nadia?” kejarku kemudian.
“Nadia malah sudah meninggal lebih dulu, setahun setelah kami lulus. Beliau dan bayi yang gagal dilahirkannya.”
Makin lama makin aneh, tapi terus terang menjadi menarik sekali.
“Bagaimana dengan Marissa, Bu?“
Bu Maryam tertawa, kedengarannya tidak enak di telinga.
“Ia agak aneh orangnya. Pendiam, tapi sering gonta-ganti pacar. Waktu Nadia wafat, ia datang sambil membawa bayi laki-laki yang baru berumur 40 hari. Kami sempat menegurnya karena tidak baik membawa bayi ke tempat orang mati. Kabarnya, ia menyusul kekasihnya ke Surabaya. Setelah itu, saya tidak tahu bagaimana kabarnya.“
Aku merasakan peningkatan adrenalin dalam tubuhku.
“Maaf, Bu. Apakah Ibu mengetahui seperti apa kekasih Marissa itu?”
“Wah, saya tidak tahu, Mbak. Kabarnya lelaki itu sudah berkeluarga.”
“Oh, begitu. Maaf, Bu, barangkali Ibu masih ingat, apakah Marissa, Nadia dan Adelia lahir pada tanggal 5 Juni?”
“Saya nggak yakin benar, tapi rasanya mereka tidak lahir di tanggal yang sama. Karena, kalau ada yang ulang tahun bersamaan, pasti traktirannya besar-besaran. Nah, pas di gudeg itu kami sedang merayakan ulang tahunnya Marissa.”
Cukup sudah bagiku keterangannya dan aku sangat berterima kasih pada Bu Maryam. Suara Ardi kembali berada di ujung telepon.
“Bagaimana, Ran? Kamu sudah puas kan sekarang?”
“Terima kasih banyak atas bantuanmu, Ar. Sungguh-sungguh membantu.“
Ardi tertawa di ujung sana.
“Kau utang padaku, bebek goreng kayu tangan dan rawon setan.”
“Anything, Bos. Anything,” kukutip kata-katanya dulu.
Bersambung
Penulis: Shanty Dwiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar